BAB 97: Hanya Ilusi?

107 8 0
                                    

Arini

Tiga bulan kemudian.

Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.

Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.

Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.

"Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?" bisiknya tadi pagi, "Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi."

Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi ketika merindukan Brandon. Dia ingin bermanja dengan lelaki itu sebelum tidur dan memintanya membelikan makanan yang diidamkan. Namun, hanya ada Moza dan Fahmi yang sesekali datang berkunjung ke sana.

"Kamu yakin Brandon bisa dipercaya?" tanya Fahmi dua bulan lalu saat berkunjung ke rumah Moza.

"Bran nggak akan ingkar janji, Bang," jawab Arini penuh keyakinan.

Akan tetapi, saat ini keyakinan itu memudar. Pikiran buruk mulai menghantui. Dia tidak bisa lagi percaya seratus persen bahwa Brandon tidak akan menyentuh Sheila. Mereka sudah menikah sah secara hukum dan agama, sementara dirinya hanya berstatus istri siri. Ketika hasrat tidak bisa dibendung lagi, Brandon pasti mencari Sheila sebagai pelampiasan.

"Cukup!" henti Arini setiap kali memikirkan hal tersebut. Dia tidak ingin pikiran buruk menghantui dan mengganggu perkembangan janin yang ada di rahimnya sekarang.

Gue nggak bisa diam di rumah aja, batinnya resah.

Selama tiga bulan ini, ia selalu mencari cara agar Moza mengizinkannya bekerja. Namun, wanita itu melarangnya dengan alasan terlalu riskan bagi wanita hamil bekerja. Apalagi jika pekerjaan mengharuskan naik kereta dari BSD ke Jakarta. Tidak ada alasan juga bagi Arini untuk bekerja, toh Brandon masih mengirimkan nafkah bulanan ke rekeningnya.

Untuk menghalau rasa bosan dan menghilangkan pikiran negatif, Arini memutuskan untuk mengajak Rezky jalan-jalan ke Teras Kota. Dia juga ingin minum Signature Chocolate keluaran Starbuck. Sudah lama tidak mencicipi minuman kesukaannya itu. Hari ini, ia juga meminta Moza untuk membelikan ayam rica-rica yang dijual di kantin kantor.

Dan di sinilah Arini dan Rezky berada sekarang, gerai Starbuck di Teras Kota BSD. Selama tiga bulan ini, hanya bocah berusia tiga tahunan itu yang menemani. Moza hanya datang ke BSD ketika akhir pekan atau saat Arini butuh makanan yang diidamkan.

Rezky anak yang manis dan tergolong mandiri untuk usia tiga tahun. Tidak rewel dan ketika diajak pergi tidak pernah minta digendong. Arini senang dengan anak itu. Tiba-tiba ia tersenyum membayangkan seperti apa wajah putra yang ada di kandungannya, jika lahir nanti? Apakah mirip Brandon atau dirinya?

Berdasarkan hasil USG tiga hari lalu, dokter mengatakan calon bayi yang ada di kandungan Arini berjenis kelamin laki-laki. Wanita itu mulai mencari nama yang cocok untuk anaknya, tapi masih belum ditemukan.

"Enak ya?" ujar Arini melihat Rezky memakan brownies dengan lahap.

Kepala yang dihiasi rambut tebal itu mengangguk semangat. Matanya berbinar seakan memperkuat jawaban yang diberikan.

JUST ON BED (Trilogi JUST, seri-2)Where stories live. Discover now