BAB 93: Kekhawatiran

77 8 0
                                    

Brandon

Brandon merenung di balik meja kerja, sehari setelah pernikahan ditunda. Tarikan napas besar terdengar dari sela hidung saat ingat perkataan Asma kemarin, pasca mengetahui rencana pernikahan Sheila dan dirinya. Akhirnya, ia mengaku dan menceritakan semua secara detail kepada wanita paruh baya tersebut.

Masih terpahat jelas dalam ingatan bagaimana kecewanya Asma. Sang ibu mertua menangis meratapi nasib putrinya yang akan dimadu, dua bulan setelah pernikahan. Namun, Brandon terus meyakinkan Asma bahwa pernikahan itu hanya di atas kertas dan bersumpah tidak akan jatuh cinta kepada Sheila. Dia juga berjanji tidak akan menyakiti Arini.

"Mama percaya sama kamu, Bran. Jangan pernah sakiti hati Ari, apalagi berkhianat!" Itulah kalimat yang dilontarkan setelah mendengar penjelasan Brandon dan Arini.

Inilah yang membuat Brandon memutar otak mencari cara agar penyelidikan segera rampung dalam waktu satu minggu. Mustahil memang, tapi ia sungguh tidak ingin menyakiti banyak perasaan jika pernikahan itu dilanjutkan.

Alhasil tadi malam, Brandon langsung menghubungi Lisa dan mengajaknya berdiskusi pagi ini di kantor. Sekarang, ia menunggu kedatangan ibu tercinta.

Selang beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu terdengar dari luar. Brandon mendongak seraya mengamati sosok yang berdiri di balik pintu, melalui sela tirai horizontal. Dia langsung berdiri, lantas membukakan pintu agar Lisa bisa masuk.

Mata cokelat Lisa menyipit ketika bertemu lagi dengan Brandon, pasca membuat kehebohan di akad nikah kemarin. "Kamu itu ya, bikin Mama deg-degan," katanya sambil beranjak menuju sofa.

Brandon mengikuti dari belakang, kemudian duduk di samping ibunya. "Aku nggak punya pilihan lain, Ma. Maaf," ucapnya merasa bersalah.

Lisa memandang putranya beberapa saat sebelum menanggapi. "Berisiko memang, tapi syukurlah tidak ada masalah serius. Keluarga Dirgantoro masih mau tunda pernikahan."

"Dan kita hanya punya waktu satu minggu untuk selesaikan audit itu," cetus Brandon serius.

"Ini satu-satunya kesempatan kita, Ma. Aku nggak perlu nikah sama Sheila dan Mama nggak akan kehilangan Papa." Brandon memandang kedua netra Lisa bergantian. "Papa akan jadi milik Mama seutuhnya. Aku yakin Ayu akan dilempar ke jalanan, setelah Papa tahu perbuatannya."

Ya, Brandon tahu kalau Sandy tidak akan pernah memaafkan orang yang berbuat curang. Itulah yang ia yakini selama ini mengenai sosok sang ayah. Keyakinan itu masih ada di dalam dirinya sampai sekarang. Buktinya, pria paruh baya tersebut tidak melakukan hal buruk kepada Arini walau tahu Brandon sangat mencintainya.

Wajah Lisa berubah muram ketika memikirkan bagaimana nasib Farzan jika hal itu sampai terjadi. Sementara Brandon mengamati perubahan raut wajah ibunya beberapa detik.

"Mama lagi pikirin apa?" selidiknya penasaran.

Kepala yang dihiasi rambut sebahu itu menggeleng pelan. "Mama cuma ingat Farzan. Bagaimana dia jika Ayu masuk penjara?"

Brandon mendesah pelan. "Ya ampun, Ma. Dia nggak dekat sama Ayu. Aku rasa kalau wanita itu masuk penjara, Farzan nggak bakal peduli. Dia bisa tinggal sama Mama juga."

Dalam hati Lisa membenarkan perkataan Brandon. Sejak usia dua tahun, Farzan bisa dikatakan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Anak itu juga tidak akrab dengan ibu kandungnya. Dia bahkan terlihat lebih menyayangi Lisa dibandingkan Ayu.

"Tetap saja, Bran. Kalau tiba-tiba dia tanya Ayu ada di mana, apa yang harus Mama jawab?" keluhnya sendu membayangkan bagaimana Farzan nanti.

Pria itu memeluk ibunya, sebelum memberi kecupan di kening. "Nanti aja dipikirkan. Sekarang kita harus cari cara biar penyelidikan selesai minggu ini. Jangan sampai rasa kasihan Mama kepada Farzan kalahkan kasih sayang Mama sama Iin."

JUST ON BED (Trilogi JUST, seri-2)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora