BAB 82: Kegundahan

67 6 0
                                    

Arini menelusuri netra hitam Brandon yang memancarkan harapan tinggi. Jelas terlihat pria itu menginginkannya untuk ikut serta di acara makan malam hari ini. Namun, ia tidak ingin datang karena enggan mendengarkan pembicaraan seputar pernikahan suaminya dengan Sheila. Tentu saja keluarga besar Dirgantoro akan membahas masalah itu di meja makan.

"Lo aja yang pergi ya, Bran. Gue di apartemen aja tunggu lo pulang." Arini akhirnya memecah keheningan yang tercipta di antara mereka. "Lagian kehadiran gue juga nggak penting. Aneh aja lagi gue datang ke sana."

Brandon menggeleng tegas. "Jangan lupa. Bokap Sheila yang genit itu suruh lo datang juga."

Desahan keras keluar dari sela bibir Brandon, sesaat kemudian rahangnya mengeras. "Dia kayaknya tertarik sama lo. Dari tadi bikin gue kesal."

"Makanya lebih baik gue nggak datang." Arini memegang dada bidang Brandon yang ditutup kemeja dan dilapisi jas. "Nanti ada yang panas kalau gue datang gara-gara dilirik papanya Sheila."

Wanita itu tahu persis kalau Brandon tipe pria pencemburu. Apalagi Ilham terang-terangan menunjukkan ketertarikan kepada Arini. Belum lagi bagaimana dengan respons ibu Sheila jika menangkap gelagat tidak baik dari suaminya. Bisa terjadi perang dunia ketiga. Bahaya!

"Oke. Kalau gitu gampang. Kita nggak usah datang," tanggap Brandon enteng, lalu melangkah menuju sofa dan duduk di sana.

"Ya nggak bisa gitu dong, Bran." Arini menyusul duduk di samping suaminya. "Kalau nggak datang bisa masalah nanti." Sorot mata cokelat lebar itu tampak begitu gusar dengan sikap keras kepala Brandon.

"Sekali lagi gue tegaskan, kalau lo nggak ikut, gue nggak akan datang," ancamnya.

"Bran?"

Brandon menaikkan jari telunjuk ke atas, kemudian menggoyangkannya ke kiri dan kanan. "Nggak boleh protes!"

Arini menarik napas dan mengembuskannya pelan. Sekeras apapun ia meminta Brandon untuk datang ke acara makan malam, jawaban yang sama akan diterima jika ia menolak ikut serta. Mata cokelat itu terpejam beberapa detik.

"Oke, gue ikut." Arini akhirnya setuju. "Tapi dengan satu syarat."

Senyum penuh kemenangan memenuhi wajah tampan Brandon. Dia tahu pada akhirnya bisa unggul dalam perdebatan ini.

"Apa?" tanyanya setelah itu.

"Selama ada di sana, kita harus jaga jarak. Nggak boleh dekat-dekat, biar nggak ada yang curiga," jawab Arini lugas.

Brandon manggut-manggut setuju. "Nggak sulit. Sebenarnya dekat-dekat juga nggak masalah. Orang si bapak genit itu tahunya lo sepupu gue," terangnya tersenyum senang, karena masih bisa menunjukkan kedekatan mereka di depan keluarga besar Sheila.

"Dan ...." Ternyata Arini belum selesai. "Jika kalian mau bahas seputar masalah pernikahan atau kehidupan setelah menikah. Apapun itu, gue nggak mau ikutan."

Netra sayu Brandon mengitari manik cokelat Arini yang memancarkan kegetiran. Dia tahu sang istri sekarang bersusah payah menahan diri untuk tidak menunjukkan isi hatinya. Namun, pria itu tahu hanya dengan melihat sorot matanya.

Brandon menarik istrinya ke dalam pelukan seraya menghela napas berat. Sebuah kecupan diberikan di kening yang ditutupi poni tersebut.

Gue akan berusaha cari jalan keluar dari masalah ini, agar pernikahan itu nggak akan pernah terjadi, batinnya.

"Ya udah. Yang penting lo temenin gue makan malam." Brandon setuju dengan syarat yang diberikan, asal Arini mau mendampinginya dan memberikannya kekuatan untuk datang nanti malam.

***

Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Dirgantoro, Arini larut dalam pikiran sendiri. Apa yang akan dilakukannya, jika Ilham dan istrinya menyinggung masalah pernikahan ketika makan malam? Tentu sungkan untuk pergi begitu saja dari ruang makan saat hidangan tersaji? Lalu, apakah Ade juga turut hadir di sana? Setidaknya ia bisa merasa lega, andai kekasih Sheila tersebut ikut serta juga.

JUST ON BED (Trilogi JUST, seri-2)Where stories live. Discover now