BAB 21: Tidak Ada Jalan Kembali

194 18 5
                                    

Brandon

Brandon menatap dingin Moza yang kini berdiri di depannya. Dia harus keluar dari lift ketika wanita itu mengajaknya berbicara. Malas. Itulah yang ia rasakan sekarang. Tidak ada lagi yang harus dikatakan, karena hubungan mereka telah berakhir bertahun silam.

Kenangan enam tahun lalu, ketika Brandon mengikuti Moza ke hotel kembali berputar. Rasa sakit saat mengetahui siapa wanita itu sebenarnya, benar-benar membuat naluri laki-lakinya terluka.

"Aku mau ngomong sama kamu, Bran. Please!" Moza memohon lima menit lalu.

Harga diri Brandon benar-benar jatuh saat mengetahui, perempuan yang dicintai ternyata seorang wanita panggilan. Pengorbanannya tidak sebanding dengan apa yang diberikan Moza. Apalagi ia sampai kehilangan Arini yang menjaga jarak pada saat itu.

Arini telah memperingatkan dirinya agar tidak tergiur dengan kecantikan semu dan penampilan seksi Moza. Namun, Brandon telah tergoda hingga akal sehat lenyap. Dia memilih kehilangan sang sahabat demi wanita yang tidak layak mendapatkan cintanya.

"Sekarang katakan apa yang mau kamu bicarakan. Waktu lima menit dari sekarang," kata Brandon dingin dengan tatapan menusuk. Jangankan mengingat bagaimana kehangatan ranjang yang disuguhkan Moza dulu, melihatnya saja ia sudah enggan.

"Aku ... mau minta maaf, Bran," ucap Moza dengan napas berat. Mata hitam lebarnya menatap lekat Brandon yang semakin menarik dan tampan di usia dewasa.

"Sudah kumaafkan. Ada lagi?" Sebelah alis Brandon naik ke atas, seakan meminta wanita itu lekas mengatakan inti pembicaraan sebenarnya.

"Aku masih cinta sama kamu, Bran. Enam tahun ini, aku nggak bisa lupakan kamu." Moza menatapnya penuh kepiluan. Ada genang cairan berkumpul di rongga matanya.

Bukannya tersentuh, Brandon malah mendengkus. Dia tidak akan mau lagi termakan kebohongan lain yang diberikan Moza.

"Cintaku untuk kamu udah habis waktu tahu siapa kamu sebenarnya, Moz."

"Bohong!" tuding Moza. Dia memandang lekat pria itu. "Aku bisa lihat cinta di matamu saat bertemu tadi."

Brandon mengembuskan napas singkat saat mengalihkan perhatian. "Ya. Aku emang lagi jatuh cinta, tapi sayang, cinta itu bukan buat kamu."

Moza tidak terima jika Brandon bisa melupakannya begitu saja. Naluri wanita itu terluka. Apapun akan dilakukan agar pria ini bertekuk lutut dan mengemis cinta kepadanya.

"Aku nggak akan nyerah begitu aja, Bran." Mata Moza memancar api yang membara. "Jangan panggil aku Moza jika nggak bisa bikin kamu balik lagi kepadaku."

Decakkan keras keluar dari sela bibir Brandon saat berbalik membelakangi Moza. "Terserah!" pungkas Bran pergi dari hadapan wanita yang pernah menghiasi hidup dan ranjangnya. Brandon benar-benar tidak peduli lagi dengan mantan pacar terindahnya. Persetan dengan Moza, karena yang ia pikirkan sekarang hanyalah Arini.

"Apa orang itu Arini?" tanya Moza mengeraskan suara, sehingga bergema di lorong lobi menuju tempat lift berada.

Brandon hanya mengangkat kelima jarinya tanpa memutar badan menghadap Moza. "Bukan urusan kamu."

Entah bagaimana tanggapan Moza setelah jawaban itu, Bran tidak mau ambil pusing. Dia hanya ingin tidur lebih awal dan beristirahat, agar besok pagi bisa berangkat ke kosan Arini, sebelum wanita itu bekerja.

Begitu lift yang ditumpangi tiba di lantai tiga, Bran segera keluar menyusuri lorong apartemen yang sepi. Tidak ada orang di sana selain ....

Mata sayu Brandon menyipit ketika melihat seorang perempuan duduk di depan pintu flat-nya. Kaki ditekuk, sehingga kepala menempel di atas punggung tangan yang berlipat di atas lutut. Seperti sedang tertidur.

JUST ON BED (Trilogi JUST, seri-2)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt