BAB 22: Bujukan Maut

212 15 1
                                    

Arini menatap ke dalam netra sayu Brandon. Tidak ada gurauan terlihat di sana. Pria itu serius dengan perkataannya. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar membayangkan akan menikah dengan Bran.

Sesaat kemudian, Arini kembali tersadar. Bukan waktu terbuai oleh perasaan. Ada hal yang jauh lebih penting dari perasaannya dan Brandon, yaitu Lisa dan warisan yang terancam lepas darinya. Satu detik kemudian bibir mungil itu tertarik ke samping, lalu mengeluarkan tawa keras.

"Lo udah ngantuk, Bran. Capek banget pasti. Tidur gih," katanya terdengar seperti perintah. Arini melarikan diri dari topik pembicaraan paling menakutkan tahun ini. Pernikahan.

"Gue nggak lagi ngantuk, In." Brandon melebarkan mata sayunya, agar Arini bisa melihat lebih lekat lagi. "Tuh. Malah melek banget dan nggak nguap juga."

Brandon tidak ingin menunda lagi. Bagaimanapun juga, ia harus mengutarakan keinginan dan keseriusannya untuk menikahi Arini.

"Kok diam?" desaknya ketika Arini hening seribu bahasa.

"Lo pengkhianat, Bran." Arini menatap penuh kekecewaan.

Pria itu mengusap keras wajah saking kesal dengan diri sendiri. "Kalau yang lo maksud kesepakatan kemarin, iya! Gue memang pengkhianat!" Tegas dan dalam, dua hal itu yang terdengar dari nada suara Brandon.

"Awalnya gue pikir bisa seks tanpa melibatkan perasaan, jadi gue fine-fine aja." Brandon menarik napas cepat. "Sebelumnya ... sebelum kita bercinta, gue benar-benar belum siap komitmen, In. Pernikahan masih jauh dari angan-angan gue."

"Lo tahu itu dengan pasti, 'kan?" sambungnya penuh perasaan dengan nada suara rendah.

Arini mengangguk membenarkan. Dia tahu persis bagaimana ketakutan Brandon menikah dan menjalin hubungan serius, setelah apa yang terjadi kepada Lisa, masa lalunya dengan Moza, bahkan mungkin pengalaman Arini sendiri.

"Tapi ... begitu bangun tidur dan ada lo di samping gue tadi pagi. Gue peluk lo. Lihat mata indah lo mengerjap dan tersenyum. Hati gue yang beku mulai cair, In." Brandon berbicara penuh perasaan. Cinta yang menggebu seakan dicurahkan melalui kata demi kata yang terucap.

"Gue jadi bayangin, gimana jadinya setiap hari gue bisa peluk lo waktu bangun tidur. Cium bibir lo saat ucapkan selamat pagi. Lihat lo masak di dapur buat gue kayak tadi malam. Dan lihat lo tungguin gue pulang kerja kayak barusan." Napas Brandon jadi terengah ketika mengucapkan kalimat panjang itu dengan perasaan cinta memenuhi jiwa. Dia mengambil jeda sebentar, berusaha mengendalikan emosi yang meluap. Sementara Arini menatapnya dengan bibir rapat dan mata berkaca-kaca.

"Gue jadi ingin nikah sama lo, In. Cuma lo yang ingin gue nikahi. Nggak ada lagi cewek lain." Suara Brandon terdengar rendah saat ia meraih jemari Arini, lalu menggenggamnya hangat.

"Bahkan waktu ketemu sama Moza di bawah tadi, yang ada di pikiran gue hanya lo, In. Gue baru sadar, sesadar-sadarnya kalau gue ... jatuh cinta sama lo." Brandon merasa lega telah mengutarakan seluruh isi hati terdalam.

Kening Arini berkerut mendengar perkataan sahabatnya. "Moza? Lo ketemu Moza? Tadi?" tanyanya terkejut.

Brandon mengangguk singkat. Dia tidak ingin menyimpan apapun dari Arini. Semua harus terang dan jelas, termasuk hatinya. Tidak boleh lagi ada yang namanya abu-abu dalam hubungan mereka.

"Jangan alihkan topik pembicaraan ke Moza," balas Brandon keberatan.

"Trus lo ngobrol sama Moza?" Arini tidak menggubris perkataan Brandon barusan. Seakan tidak pernah mendengarnya berbicara.

Desahan napas gemas meluncur dari sela bibir Bran. Dia berpikir Arini berusaha mengalihkan pembicaraan sekarang.

"Iya, sebentar. Nggak lebih dari lima menit."

JUST ON BED (Trilogi JUST, seri-2)Where stories live. Discover now