BAB 49: Sisi Romantis Brandon

139 12 0
                                    

Keinginan untuk membuka kotak misterius yang diberikan Lisa, terpaksa diurungkan. Brandon memutuskan beristirahat, setelah memasukkan kotak itu ke dalam lemari hotel. Sebisa mungkin ia harus menahan diri untuk tidak membukanya, karena rasa penasaran yang masih mendera.

Tepat dua puluh menit sebelum waktu makan malam, Brandon sudah tiba di kamar Arini. Wajahnya tampak lesu ketika melihat perempuan itu masih belum mengenakan gaun yang khusus diberikan untuk malam istimewa ini.

"Kok nggak pakai gaun yang gue kasih?" tanya Brandon tidak bisa menutupi raut kecewa.

Arini mendesah pelan. "Kita cuma makan malam dan pergi ke Petronas Twins Tower, Bran. Buat apa pakai gaun segala?"

Sebelumnya, Arini kebingungan ketika membuka dua kotak yang diberikan Brandon beberapa jam lalu. Kenapa pria itu membelikan gaun dan sepatu bermerk kepadanya? Terutama sekali, sudah berapa rupiah yang ia rogoh membeli itu semua?

Brandon mendekat, kemudian meraih pinggang Arini ke depan. "Lo nggak lihat gue pakai apa sekarang?"

Pandangan Arini turun ke arah kemeja sutra berwarna tosca lengan panjang dan celana katun hitam yang melekat pas di tubuh Brandon. Rambut pendek model layered undercut itu juga sudah disisir rapi menggunakan pomade. Pria itu tampak rapi, tidak seperti orang yang ingin makan malam biasa dan sekedar jalan-jalan ke Twins Tower.

"Ada apa sih, Bran? Kok jadi formal gini?" Kening Arini mengernyit kebingungan.

Bukannya menjawab, Brandon malah memegang bahu Arini, lalu memutar balik tubuhnya ke belakang. "Udah pakai gaunnya sana. Sebaiknya di kamar mandi aja. Jangan di sini!"

Bisa bahaya kalau Arini berganti pakaian di sini. Bisa batal semua rencana malam ini, karena keinginan bercinta mendominasi. Haha!

"Tapi Bran 'kan cu—"

"Mau gue yang bantu ganti?" sela Brandon mencondongkan sedikit kepala ke kanan, sehingga bisa melihat wajah Arini.

Wanita itu menggelengkan kepala. Dia menarik napas panjang, sebelum mengembuskannya lagi. Akhirnya ia meraih gaun yang ada di dalam kotak, lalu bergerak menuju kamar mandi. Waktu untuk berganti pakaian dan berdandan tinggal 30 menit lagi.

"Jangan lama-lama ya, In. Gue udah pesan meja di bawah," teriak Brandon mengingatkan.

"Iya, bawel," sahut Arini di balik pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Brandon merogoh saku sebentar. Benda yang tadi dimasukkan di saku celana masih ada di sana. Senyum terurai di paras membayangkan bagaimana reaksi Arini jika ia mengeluarkannya. Perhatian Brandon langsung teralihkan ketika melihat wanita itu keluar dari kamar mandi.

Gaun satin berwarna tosca dengan panjang hingga lutut dan tanpa lengan, telah melekat di tubuh ramping Arini. Pinggangnya terekspos dengan jelas, begitu juga dengan bagian pinggul yang berisi. Kulit kuning langsat tampak begitu jelas.

"Wow! Cantik banget," puji Brandon tanpa bisa menutupi rasa kagum.

"Gue masih belum dandan, Bran."

"Waktu dan tempat dipersilakan, Sayang," ujar Brandon mengulurkan tangan ke arah kabinet yang berada di samping cermin besar.

Arini geleng-geleng kepala melihat kelakuan Brandon yang sedikit lebay. Sampai-sampai mengeluarkan uang banyak untuk semua ini. Namun, ia tidak ingin memperkeruh suasana dengan berkomentar mengenai berapa harga gaun dan sepatu yang dibelinya.

Dengan sigap, wanita itu sudah berdiri di depan cermin dengan satu pouch kecil berisi peralatan make-up. Tangannya bergerak mengaplikasikan pelembab, alas bedak, riasan mata hingga lipstik. Setelah berlatih berkali-kali, akhirnya Arini terbiasa dengan benda-benda tersebut. Dia butuh make-up juga untuk bekerja di The Harun's Group nanti.

"Gimana?" Arini memutar tubuh menghadap Brandon seraya menyisir rambut dengan jari. Dia membiarkan helaian rambut tebal itu tergerai menutupi punggung.

"Cantik banget kayak bidadari, In."

Wanita itu berdecak pelan geleng-geleng kepala. Dia suka cara Brandon memujinya, karena bukan gombalan semata. Arini tahu persis kapan pria itu menggombal dan kapan benar-benar mengutarakan isi hati.

Tahap akhir sebelum meninggalkan kamar adalah mengenakan sepatu. Senyum terurai di wajah ketika sepatu berwarna krem itu pas di kakinya.

"Kok bisa tahu ukuran baju dan sepatu gue sih, Bran?" Arini mendongak ke arah Brandon.

"Nitip sama Mama."

Bibir Arini membulat ketika mengangguk. Dia ingat wanita paruh baya itu pernah membelikan gaun dan sepatu untuknya. Sudah pasti ingat dengan ukuran keduanya.

"Jadi. Kenapa belikan gue gaun dan sepatu?" Arini mengubah posisi menjadi tegak. Matanya menyipit mempelajari raut wajah Brandon.

Tangan pria itu bergerak membelai pinggir wajah Arini yang tampak sangat cantik malam ini. "Sebagai simbol apa yang akan terjadi malam ini," sahutnya sedikit tegang.

"Maksudnya?" Sebelah alis Arini naik ke atas.

"Gaun itu benda yang mampu melindungi tubuh dari embusan angin, terik sinar matahari dan hal buruk lainnya. Bisa juga menutupi kekurangan. Gue pengin lindungi lo kayak gaun itu dan tutupi kekurangan lo dengan kelebihan gue, begitu juga sebaliknya."

Arini menatap mata sayu Brandon yang tampak semakin tegang. Pria itu menelan ludah sebentar, sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Gue juga ingin temani lo di setiap langkah hidup yang akan ditempuh, kayak sepatu yang bakal anterin ke mana lo pergi."

Tibalah saatnya mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Ketika itu, raut wajah Brandon semakin tegang. Seakan mengerti dengan keinginan hati, salah satu kakinya langsung menekuk di atas lantai. Pandangan manik hitam itu naik ke wajah Arini.

Jantung Arini berdebar kencang, meronta-ronta di dalam tubuh. Napasnya seakan tertahan melihat Brandon berlutut dengan sebuah kotak kecil dalam genggaman. Dia mulai bertanya-tanya, apa yang sedang dilakukan pria itu sekarang?

Jangan bilang Bran mau lamar gue, batinnya menduga.

Pandangan Arini tidak lepas dari kotak hitam yang dipegang Brandon. Perlahan kotak itu terbuka, memperlihatkan sebuah kalung liontin matahari yang begitu cantik.

"Arini, wanita yang udah jadi sahabat gue selama sebelas tahun. Mau nggak lo jadi matahari yang terus sinari hidup gue? Kita arungi hidup ini bersama, jadi sahabat selama-lamanya dalam suka dan duka, sehingga bisa hadapi badai yang mungkin datang suatu saat nanti."

Tubuh Arini mendadak hangat mendengar kalimat romantis lain yang diucapkan Brandon barusan. Pria itu berubah menjadi sosok berbeda malam ini. Sisi romantisnya benar-benar dikerahkan. Tentu saja hal ini di luar dugaan Arini. Jawaban apa yang akan diberikan?

Jika Brandon menanyakannya bulan lalu, sebelum mereka bercinta. Ah, tidak! Lebih tepatnya sebelum perjodohan dengan Sheila, mungkin ia akan menjawab 'iya' tanpa ragu. Namun, sekarang perjodohan itu sudah jelas dan pernikahan antara Brandon dan Sheila akan terjadi.

"Gue nggak minta lo nikah sekarang, In." Brandon menyentakkan Arini dari kebingungannya. "Hanya ingin tahu apa lo mau nikah sama gue? Officially dan bukan hanya omongan sepintas."

Brandon meringis ketika merasakan lututnya mulai linu. Sebelah alisnya naik ke atas menanti jawaban wanita itu.

"In?" panggilnya masih menunggu, "kaki gue sakit nih."

Arinimerasakan napas terasa sesak. Dia ingin menjawab iya, tapi tidak berani.Bagaimana jika jawaban yang diberikan bisa mengubah rencana pernikahan Brandon denganSheila?


Bersambung....

JUST ON BED (Trilogi JUST, seri-2)Where stories live. Discover now