BAB 76: Tidak Nyaman

83 10 0
                                    

Arini

Arini meregangkan otot seraya mengusap pundak setelah berjibaku dengan banyak materi yang diberikan Habib. Sejak pria itu menjelaskan pekerjaan yang harus dilakukan, ia susah untuk berkonsentrasi. Perkataan yang diucapkan Sandy tadi terus menari di pikiran.

"Habib cocok untuk kamu, Rin. Dia pria sejati dan sudah terbukti dengan memiliki anak. Istrinya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu. Saat itu anaknya juga masih sangat kecil. Masih umur dua tahun seingat Om. Kamu pantas untuk jadi ibu sambung putranya," papar Sandy ketika mempromosikan Habib.

Dan sekarang pria yang disebutkan oleh Sandy duduk selang satu ruas meja darinya. Jika dilihat-lihat, Habib masih terlihat segar untuk laki-laki berusia empat puluh tahun. Tubuh yang terjaga, rahang kokoh, hidung mancung mencuat dan wajahnya terkesan jantan. Bisa dipastikan Habib tidak kalah tampan dari Brandon di usia pertengahan dua puluh. Namun, ada yang kurang darinya yaitu senyuman.

Sejak bertemu tadi pagi sampai sekarang, ia tidak pernah melihat pria itu tersenyum. Wajahnya tampak begitu serius dan cenderung dingin. Apakah itu yang membuatnya belum menikah lagi setelah kepergian sang istri lima tahun yang lalu?

Arini jadi membayangkan bagaimana Brandon di usia empat puluhan? Apakah masih terlihat gagah ataukah seperti pria berkepala empat kebanyakan? Perut mulai buncit, rambut berkurang dan tubuh lebar? Tanpa sadar wanita itu tertawa.

"Ada yang mau ditanyakan, Bu?" tanya Habib menoleh ketika mendengar Arini tertawa.

Wanita itu langsung menggeleng seraya menggoyangkan kedua tangan di depan. "Nggak, Pak. Tadi saya hanya ...." Arini kebingungan mencari alasan.

"Ingat film Mr. Bean yang saya tonton tadi malam," sambungnya cepat. Beruntung otak cerdasnya bekerja dengan sangat baik, sehingga ingat dengan film dan serial komedi kesukaan Brandon, Mr. Bean.

Habib hanya mengangguk singkat dengan sikap tak acuh. Dia kembali fokus kepada beberapa dokumen yang akan dipelajari Arini nanti.

Sementara Arini sesekali merasa tidak nyaman dengan kebersamaan mereka di ruangan ini. Ditambah dengan perkataan Sandy tadi. Bagaimana jika Brandon tahu dengan niat sang Ayah? Apakah ia akan marah dan melarang Arini bekerja?

Arini berpikir lagi seraya memperhatikan gerak-gerik Habib yang tampak acuh tak acuh kepadanya. Sejak tadi pria itu hanya memperlakukannya sebagai atasan dengan sikap hormat. Mungkinkah ia tidak tahu dengan rencana Sandy?

Mungkin gitu sih. Ah, lo aja yang pikirnya berlebihan, Ri. Orang dia aja sejak tadi fokus kerja, batin Arini mengusir prasangka tidak baik.

Habib menegakkan tubuh setelah memisahkan beberapa lembar kertas berisi proposal proyek, lalu menggesernya ke depan Arini.

"Ini proposal yang bisa ibu pelajari. Bisa dibaca di rumah kalau ibu punya waktu. Atau besok pagi tidak apa-apa." Habib menunjuk dua proposal yang dipisahkan lagi. "Dua ini sifatnya urgent dan harus kita respons dalam dua hari. Ibu bisa prioritaskan ini dulu."

"Setelah ini, saya akan ajarkan Ibu cara perencanaan, pelaksanaan, penjadwalan dan kelola anggaran proyek dengan baik. Pelan-pelan dulu sampai Ibu bisa," paparnya lagi kemudian.

Arini mengangguk paham. Dia memang memulai lagi dari nol, karena benar-benar baru baginya. Pada umumnya project manager harus memiliki sertifikat khusus. Namun, dikarenakan ia memasuki jalur koneksi sehingga tidak diperlukan hal semacam itu. Lisa percaya Arini bisa bekerja dengan sangat baik.

"Sudah waktunya pulang, Bu," cetus Habib setelah melirik jam tangan.

"Hah? Udah boleh pulang, Pak?" balas Arini sedikit terkejut.

JUST ON BED (Trilogi JUST, seri-2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang