BAB 5: Hanya Sebatas Sahabat

1K 37 0
                                    

Arini

"Gue dan Arini itu cuma sahabatan. Kita udah kenal dari SMA, jadi jangan mikir yang aneh-aneh!"

Kalimat yang diucapkan Brandon ketika tiba di area kubikel kembali berputar di ingatan Arini. Entah berapa kali diulang bagai kaset kusut sejak ia meninggalkan lantai tujuh beberapa menit lalu.

Kenapa, Rin? Ada yang salah? Kok lo kayaknya terganggu sama perkataan Brandon tadi? Bukannya kalian emang hanya sebatas sahabat? protes batinnya menyadarkan.

"Faktanya emang gitu, 'kan?" gumamnya tanpa sadar.

"Fakta apa, Rin?" tanya pemilik suara bas yang kini berjalan di sampingnya.

Pandangan yang hanya menatap lantai gedung B1 kini berpindah ke kanan. "Eh?"

"Kamu lagi pikirkan apa?" Fahmi menghentikan langkah sebelum mendorong jeruji putar berwarna hitam, agar bisa keluar dari gedung.

Kepala yang dihiasi rambut panjang diikat ke atas itu menggeleng pelan. Arini tersenyum aneh seraya menggoyangkan kedua tangan.

"Nggak ada apa-apa kok, Bang," sahutnya lalu memegang tali tas ransel yang menggantung di sebelah bahu. Dia langsung mendorong jeruji putar, agar bisa melewati pagar.

Sementara Fahmi mempercepat langkah menyusul Arini yang sudah berdiri di pinggir jalan. Mereka berhenti sebentar, sebelum menyeberangi jalan kecil yang tidak banyak dilewati kendaraan.

"Mau makan mie ayam, Rin?" Fahmi mengajukan pertanyaan lagi.

"Mie ayam?" Arini menoleh sesaat, kemudian fokus lagi melihat jalan yang akan ditempuh.

"Iya, tuh," sahut Fahmi menunjuk gerobak mie ayam yang ada di dekat pertigaan jalan Abdul Muis.

"Mie ayamnya enak. Kamu udah coba?"

"Belum."

"Makan yuk! Aku jamin kamu ketagihan," ajak pria bertubuh lebih tinggi sepuluh centimeter dari Arini tersebut.

Sebenarnya Arini ingin menolak, tapi tidak enak. Apalagi mereka bisa dikatakan tetangga. Ya, tempat kos wanita itu dan Fahmi hanya berjarak dua rumah. Oleh karena itu mereka menjadi dekat. Ketika memiliki sif kerja yang sama, mereka sering berangkat berbarengan ke kantor. Kecuali hari ini. Arini memilih berangkat lebih awal, khawatir terlambat.

Arini menerima tawaran Fahmi. Dia sendiri juga lapar dan tidak ada bahan yang bisa dijadikan makan malam di kosan. Alhasil di sinilah mereka berada setelah menyeberang jalan besar. Tenda penjual mie ayam yang katanya enak.

"Mie ayam dua porsi, Mas," pinta Fahmi setelah memilih tempat duduk yang paling pinggir. Dia duduk berhadap-hadapan dengan Arini. Tatapan mata sipitnya mengamati raut wajah cantik yang tampak tidak tenang.

"Tadi kiwing banget ya?" Fahmi membuka percakapan.

Kiwing adalah plesetan dari kata queuing yang biasa disebut ketika banyaknya antrian call atau chat masuk. Hal ini sudah lumrah terjadi di dunia contact center, apalagi jika berada saat high season.

"Iya, Bang. Sampai pegel nih jari." Arini mengangkat kedua tangan dan memperlihatkan jari-jarinya.

"Ya begitulah di contact center, Rin. Pas lagi rame ya kurang lebih kayak tadi. Apalagi pas libur lebaran, natal dan tahun baru." Mata sipit Fahmi membesar ketika membayangkan betapa sibuk mereka ketika hari libur tersebut. "Kamu nggak akan bisa bernapas."

"Yang kasihan itu ya agent call," tambahnya lagi.

"Sama aja bukan, Bang? Chat juga kasihan, apalagi sampai handle lima chat sekaligus. Jari-jari dan otot tangan juga pegel balas chat," tanggap Arini kurang setuju, "kalau call hanya handle satu case dalam satu waktu."

JUST ON BED (Trilogi JUST, seri-2)Where stories live. Discover now