BAB 52

1.1K 73 3
                                    

Aku sudah menyiapkan seluruh barang bawaanku ke dalam koper sisa milik Caden, menghabiskan sekitar dua jam di dalam lemari kloset jalan ini untuk memilah-milah pakaian yang akan aku bawa saat berlibur bersama dengan Caden.

Aku tidak tahu apa yang Caden sudah persiapkan, tapi aku membawa berbagai macam jenis pakaian mulai dari pakaian tipis hingga pakaian tebal menurut paspor yang aku dapatkan.

Caden menyuruhku membawa dua koper, aku tidak tahu kenapa dia menyuruhku untuk membawa banyak pakaian, alasannya adalah karena kami akan berlibur selama dua minggu hingga tahun baru. Aku rasa dia sudah kelewatan . . . .

Caden sudah berinisiatif bahwa dia ingin menggunakan pesawat bisnisnya daripada pesawat umum, dia berkata bahwa dia tidak terlalu nyaman dengan banyak orang di ruangnya, apalagi saat musim liburan tahun baru dan natal. Aku sempat menolak, aku rasa kami tidak perlu untuk menggunakan pesawat pribadi karena aku tidak terlalu masalah terbang dengan orang lain. Caden juga menolak, akhirnya aku hanya mendengkus sebelum menganggukkan kepala, berharap agar aku dapat membantu dalam mengatur daftar liburannya tapi Caden masih bersikukuh bahwa dia baik-baik saja.

Aku sudah mengatur seluruh peluncuran bisnisnya, termasuk mempekerjakan beberapa penjahit untuk membantu menjahit gaunnya. Kain-kain yang timku pesan sudah datang di gudang sehingga beberapa penjahit yang aku pekerjakan dapat memulai menjahit. Untung saja aku sudah memberikan mereka cetakan kain yang aku print beberapa hari yang lalu. Kini mereka hanya perlu menjahitnya dan menyortir menurut ukuran dan juga jenis gaunnya.

Aku menarik napas lega, berjalan ke kasur dengan Caden yang bersandar di kasur sambil memainkan ponselnya. Aku memasukkan diriku ke dalam selimut kasur, menatap Caden selama beberapa detik sampai dia berdehem kecil.

"Aku tahu aku menawan, tapi berhenti menatapku seperti itu atau kita akan berakhir di kasur ini semalaman." Dia masih menatap ponselnya, sesekali melirikku sementara aku memutar bola mata.

"Aku hanya menatapmu."

Caden terkekeh. "Aku memperhatikannya, Manis."

Dia menoleh ke arahku sepenuhnya, meletakkan ponselnya ke atas meja sebelum ia menyelimuti dirinya. Caden menggendong tubuhku dan meletakkan kepalaku di atas dadanya, mengelus rambutku pelan sampai mataku mulai tertutup.

"Sudah mengemas seluruh pakaiannya?" Dia bertanya, memainkan jari tanganku lalu memelintirnya kecil.

"Ya, aku tidak tahu apa yang harus aku masukkan ke dalam koper kedua." Aku menjawab sejujurnya, sedikit menggumam karena pipiku menempel pada dada Caden.

"Mungkin sepatu dan jaket?" Dia bertanya.

Aku mengangguk. "Sudah melakukanya."

Aku dapat merasakan Caden yang tersenyum di atas kepalaku. "Tidak apa, kita butuh ruang untuk membeli oleh-oleh saat liburan nanti."

Kami berdua diam sejenak, merasakan salju yang turun pelan di jendela luar membuat tubuhku sedikit menggigil dan mengeratkan pelukanku tubuh Caden.

"Bagaimana kabar Jillian?" Aku bertanya. Saat Rosie tidak dapat menemukan apartemen di daerah pusat London, Caden langsung memberikan apartemen tempat tinggal kita sebelumnya sehingga dua saudarinya tersebut dapat berbagi kamar.

Caden sempat membantu Jillian dan Rosie untuk memindahkan seluruh barang mereka ke mobil truk di depan. Ibu Caden sempat memohon kepada Caden untuk tidak memindahkan kedua saudarinya. Caden tidak mendengarkan, dia terus membantu Rosie dan Jillian sampai ayahnya keluar dari kantor dan mulai berargu dengan Caden.

Aku tidak ada di sana saat Caden memindahkan barang Rosie dan Jillian, tapi Caden berkata bahwa argumennya tidak berakhir baik. Dia mengatakan kepada Warden bahwa Caden dan saudari-saudarinya tidak akan menginginkan ayahnya dalam hidup mereka. Itu membuat Warden sedikit terdiam sebelum Jillian ikut berteriak dan mengatakan bahwa dia merupakan ayah yang buruk karena moralnya terlalu tinggi dan ingin gambar publiknya selalu bagus.

How We Fix Sorrow ✅Where stories live. Discover now