BAB 2

1.6K 132 5
                                    

Aku memperhatikan amplop-amplop cokelat berjejeran di depanku. Beberapa jumlah uang sudah aku kelompokkan berdasarkan apa yang aku tabungkan sejak empat tahun yang lalu. Nyatanya aku kembali memijat kening bingung. Sambil menggigit bibir, aku membolak-balikkan amplop-amplop tersebut berdasarkan prioritasnya.

Aku belum dapat mendapatkan mesin jahit yang aku inginkan. Aku sudah mencoba menabung selama beberapa tahun setelah aku berumur delapan belas. Tahun pertama mesin jahit yang aku inginkan sudah terjual habis. Tahun ketiga mereka kembali memproduksinya lagi, sayangnya mesin jahit yang aku dapatkan kembali rusak bahkan sebelum aku mendapatkannya. Tahun keempat aku memutuskan untuk menggunakan tabunganku untuk hal lain. Tentu saja aku masih menginginkan mesin jahitnya; aku masih ingin mencoba menjahit seperti dulu.

Tabungan berikutnya merupakan tabungan menyewa bangunan. Aku menginginkannya untuk membuka bisnis pakaian setelah mendapatkan semua uangnya. Tabungan selanjutnya merupakan tabungan apartemen. Aku tidak ingin terus tinggal di rumah ini. Ayah dan ibu mengatakan kepadaku bahwa aku hanya membuang waktu mereka, mungkin karena aku tidak melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, atau karena aku bekerja upah minim padahal keluargaku merupakan keluarga yang berkecukupan tinggi.

Mereka tidak memberiku solusi untuk menyelesaikan masalah, yang aku tahu, aku tidak dapat lagi mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Selanjutnya mereka meminta uang bulananku sebagai biaya sewa karena masih tinggal di sini.

Mereka kadang menertawakanku karena keadaan fisikku yang tidak terlihat perfeksionis seperti mereka. Ideologiku retak dan buram ketimbang mereka. Karena itu aku mengatakan kepada diriku berkali-kali bahwa aku ingin mengakhiri semuanya dengan cepat.

Aku menarik napas sebelum menarik tabungan berikutnya. Kanker. Uang bulananku aku simpan untuk pengobatan kanker, terutama obat-obat beserta pemeriksaan rutin. Aku tidak terlalu memiliki banyak pengeluaran, kadang uang sisa yang aku dapat dari gaji aku gunakan untuk berdonasi. Ini merupakan langkah kecil bagiku untuk memberikan sesuatu kepada orang-orang yang lebih membutuhkan daripada aku.

Seluruh tabungan ini masih belum terisi penuh dengan uang. Aku masih harus bekerja sekitar sepuluh tahun lebih untuk menuntaskan semua tabunganku, khususnya tabungan apartemen dan bangunan toko.

Aku mengambil satu amplop sebelum memasukkannya ke dalam tas ransel milikku, satu amplop dengan isi yang sudah cukup.

Aku menatap amplop-amplop yang lain sebelum memasukkannya kembali ke dalam boks berisi buku-buku milikku. Tidak ada orang yang dapat menemukan boks-boks ini karena aku menyimpannya di bawah lantai kayu di bawah karpet yang dapat aku bongkar pasang.

Mengenakan jaket, aku berjalan ke lantai bawah sebelum keluar dari rumah. Jalanan terlihat lebih sepi karena hari ini tanggal merah, masih ada beberapa orang yang melintasi jalanan London di pagi hari, utamanya para pembersih pelataran dan pembuang sampah. Beberapa orang penjual koran dan para tunawisma masih mengitari sepanjang jalanan balutan beton sambil meminta kepada orang di jalan.

Sekarang pukul sembilan pagi. Aku bergerak melangkahkan kaki ke salah satu tempat yang biasa aku kunjungi saat akhir bulan. Tempat penampungan hewan selalu ramai dengan hewan-hewan terlantar yang para aktivis hewan dan warga lokal berikan. Aku masuk ke dalam dengan sambutan Gibson, pengurus penampungan hewan yang aku kenal semenjak aku remaja.

"Selamat pagi."

Gibsom mendongak ke atas dari kertas yang ia tatap selama beberapa detik. "Halo, Flora. . . akhirnya mau mengadopsi satu atau dua?" Dia bertanya, seringaian terukir di bibirnya.

Aku tertawa kecil sebelum menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu, tapi aku membawa ini." Aku membuka ransel sebelum memberikan amplopnya kepada Gibson. Pria tersebut menatapku halus sebelum menggelengkan kepalanya.

How We Fix Sorrow ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang