BAB 18

723 80 4
                                    

TW:/eating disorder

Aku memperhatikan semua orang di meja makan yang berbincang-bincang kepada satu sama lain. Aku hanya diam, sesekali menjawab singkat sebelum kembali menundukkan kepala sambil tersenyum paksa. Garpu dan pisau yang ada di kedua tanganku masih bersih, aku menelan ludah menatap makan malam di hadapanku ini.

Caden, ayah, Warden, serta Pak Finley berbicara lebih lanjut mengenai perusahaan mereka berdua. Samantha, Ibu, dan Evie mulai membicarakan hal yang tidak aku ketahui, mereka hanya berbicara mengenai pasar baru online yang menjual segala macam barang dengan pengiriman cepat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang mereka diskusikan, jadi aku hanya diam sembari melahap makan malam di hadapanku, menutup mata erat sedetik saat makanannya masuk ke dalam mulut.

Aku menelannya dengan susah payah. Rasanya tenggorokanku tidak dapat menelan seluruh makanan ini tapi aku tidak dapat berhenti. Samantha dan Evie beberapa kali bertanya kepadaku kenapa makananku masih penuh. Aku tidak tahu harus menjawab apa jadi aku langsung menelan makanan di hadapanku agar mereka tidak menanyaiku kembali.

Aku menggeleng pelan sebelum menjauhkan piringnya yang tinggal setengah, otakku sudah memberikan perintah bahwa aku sudah kelewatan. Aku tidak bisa lebih banyak memakan makan malamnya karena perutku terasa sangat penuh. Aku bahkan tidak dapat menahan makanannya di dalam perutku, aku ingin mengeluarkannya dengan cepat.

Aku tidak dapat meninggalkan meja makan, seluruh orang masih bercanda dan berbincang. Menggigit bibir, aku menutup mata sambil memainkan jariku di bawah meja, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku yang mulai berubah menjadi acak.

Caden sesekali berakting dengan tersenyum atau mengecup pucuk kepalaku sesudah dia tertawa bersama Pak Finley. Aku hanya tersenyum kecil masih memainkan jari. Perutku kembali berulah sebelum aku menarik napas dalam. Aku membersihkan tenggorokan, membuka suara sebelum Pak Finley menatapku sambil menungguku berbicara.

"Aku akan izin ke toilet. . . kau tahu." Wajahku mengerucut sementara Pak Finley tertawa kecil.

"Aku paham."

Aku mengangguk sebelum menunduk kecil kepada seluruh orang yang ada di meja lalu berdiri di belakang kursi sebelum aku menepuk tangan Caden pelan.

"Aku tidak tahu di mana toiletnya." Aku mengucap pelan.

Caden tersenyum pada seluruh orang yang ada di meja sebelum mengusap bibirnya dengan kain sapu tangannya. "Aku akan permisi mengantarkan istriku." Dia berdiri dan menuntunku masuk ke dalam lorong yang ada di depan rumah sebelum dia berdiri di depan satu pintu yang tertutup, aku membukanya dan melihat toilet di dalamnya.

"Kau bisa kembali, aku akan menyusul," gumamku.

Caden masih berdiri di depan pintu kamar mandi yang hendak aku masuki. Dia mengusap keningnya pelan beberapa kali sebelum berjalan menjauhi kamar mandi, ganti berdiri menyandar pada dinding lorong, sepenuhnya tidak mendengarkan apa yang aku katakan kepadanya barusan.

"Aku baik-baik saja, kau bisa pergi terlebih dahulu." Sekali lagi aku mengucap, melirik Caden sebentar sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Aku menggigit bibir untuk mencegah napasku yang mulai tidak karuan.

Aku mengunci pintu toilet sebelum berlutut di depan toilet, memasukkan jari tanganku ke dalam mulut dengan susah payah. Seluruh makanan yang aku lahap langsung keluar dengan cepat. Aku mengeluarkan seluruh isi perutku dengan cepat, sesekali menyalakan pembersih toiletnya agar airnya kembali menjadi bersih.

Aku menarik ingus dengan kasar, mataku masih terasa panas karena perutku yang memaksakan seluruh isinya keluar kembali dari mulutku.

Aku yakin aku berada di kamar mandi tersebut selama kurang lebih sepuluh menit. Aku memasukkan kembali tanganku ke dalam mulut sebelum cairan sisa keluar dari dalam, hanya cairan air yang aku minum tadi di meja makan.

How We Fix Sorrow ✅Where stories live. Discover now