BAB 1

3.2K 159 2
                                    

Aku sudah mempersiapkan seluruhnya, aku yakin.

Sweter yang aku kenakan warnanya mulai luntur, mungkin karena aku sering mencucinya. Bagaimana lagi. . . pakaian ini membuat lekuk tubuh utamanya perutku tidak terlihat.

Aku punya beberapa sweter lain yang aku kenakan tapi penggunaannya tidak seluasa ini. Karet yang berada pada bagian pinggang sweter yang aku kenakan selalu melipat saat aku duduk. Aku tidak menyukainya.

Waktu aku berada di sekolah menengah, aku sering mengubah pakaianku menggunakan alat jahit yang aku punya. Aku sempat membuat banyak pakaian longgar untuk menyembunyikan kulit longgar yang ada di area lengan. Dulunya aku masih bisa mengubah pakaian yang aku beli, sekarang mesin jahit yang aku punya rusak dan aku masih menabung untuk membeli mesin jahit yang baru.

Aku mengunci kamar. Tas ransel yang aku gunakan berisi buku gambar dan buku harian. Setiap jam istirahat kerja aku biasanya menggambar. Aku punya banyak ide gambaran. Selain itu, menggambar dapat membuatku melupakan tentang makanan, utamanya makanan yang disediakan di rumah makan tempat aku bekerja.

Menuruni tangga, aku dapat mendengarkan saudariku yang berbicara keras melalui telepon genggamnya. Aku menelan ludah, melirik ayah dan ibu yang duduk berdampingan di ruang makan sambil memperhatikan dokumen tebal di tangan mereka. Aku menarik napas dalam. Mereka melirikku sebentar sebelum kembali ke makanan yang disediakan oleh pembantu rumah.

Aku bergegas keluar rumah melewati pagar utama. Aku harus berjalan selama beberapa meter ke depan sampai ada di persimpangan tempat pemberhentian bus. Kakiku bergerak ke kanan dan kiri. Bibirku terlipat sebelum aku menggigitnya kecil. Aku dapat merasakan bibirku yang pecah setiap menggeseknya. Tanganku menggenggam ponsel dengan kaca yang retak milikku. Hanya satu menit sebelum bus selanjutnya datang.

Beberapa tetangga yang aku kenali kadang melewatiku saat aku menunggu bus. Mereka mengendarai mobil pribadi mereka karena tempat tinggal yang aku tinggali penuh dengan orang yang saling iri dengan penghasilan satu sama lain. Mungkin alasan mereka bertetangga adalah karena mereka mencari kompetisi. Tapi aku tidak tahu kompetisi, aku tidak pernah memikirkannya.

Suara klakson bus membuat tubuhku melonjak kaget. Aku menunduk sedikit sebelum berjalan menaiki tangga bus, memperhatikan pintunya tertutup kembali dari belakang.

Aku duduk di belakang supir, menatap sinar matahari yang berada di balik pohon rindang sebelum cahaya oranye menyeruak menusuk mata. 

Di sebelah kanan akan ada pertigaan, tapi kita harus ke kiri. Di sana ada toko roti milik keluarga yang juga menjual bunga-bunga. Aku selalu mengingat rutenya.

Saat keluar dari area perumahaan, aku mulai melihat jajaran toko lokal mulai dari perabotan rumah, tanaman hias, hiasan rumah, serta toko kayu dan jerami untuk atap rumah.

Selang tiga puluh menit berikutnya, aku turun di pemberhentian bus berikutnya, tidak lupa membayar menggunakan kartu pengguna bus milikku yang saldonya kurang.

Aku harus mengisi ulang kartu ini sesegera mungkin, jika tidak aku harus berjalan dari rumah ke tempat kerja. Aku yakin aku sudah beberapa kali mendapat e-mail dari ponselku untuk segera mengisi ulang sebelum kartunya hangus. Masalahnya aku tidak punya banyak uang untuk mengisinya.

Aku berjalan menelusuri kepadatan orang-orang yang juga sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka mengenakan jas. Beberapa lainnya mengenakan seragam sekolah. Sisanya mengenakan pakaian fashionable sambil sesekali meliuk-liuk indah dengan kacamata hitam mereka.

London selalu ramai setiap hari, apalagi saat jam kerja. Selama aku berjalan menuju ke perpustakaan tempat bekerja, aku sesekali menabrak beberapa orang yang sibuk dengan ponsel di tangan mereka. Ini sudah biasa. Beberapa mereka mengucapkan maaf saat mereka menabrakku, beberapa lainnya tidak peduli, mereka terus berjalan sesekali berdecak. Beberapa yang lain langsung memanggilku banyak nama: "gemuk", "lebar", "gadis besar", dan beberapa lainnya. Kebanyakan waktu aku berusaha menghiraukannya. Di waktu lainnya mataku langsung berair sebelum aku mengusapnya.

How We Fix Sorrow ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang