Bab 43

1.1K 105 14
                                    

Bulan Kesembilan

Cahaya malam masih menemani lorong rumah sakit. Jam dinding sudah menunjukkan pukul dini hari. Tidak ada suara lain selain suara lampu neon yang menyala di langit-langit. Terlalu tenang, diam, dan penuh keheningan. Beberapa perawat datang dari dalam lift sambil membawa meja dorong penuh peralatan medis, masuk dari pintu kamar satu ke kamar lainnya untuk mengecek pasien rumah sakit yang tinggal.

Suasana kamar Flora juga tidak jauh lebih berbeda, hanya ada suara dari layar monitor dan juga suara napas wanita itu sendiri.

Kota London masih menyala terang di tengah malam, tidak dengan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Mereka menutup mata sambil menunggu hari esok, meninggalkan kota sepi penuh gemerlap di dalamnya untuk diam.

Tapi tidak bagi Flora.

Wanita tersebut membuka matanya pada saat yang kurang tepat. Dia mengerjapkan mata secara perlahan, meringis kecil saat merasakan matanya terbakar oleh cahaya lampu yang menerangi kamar.

Dia menarik napas lembut, berusaha untuk menggerakkan seluruh tubuhnya meskipun ia terasa seperti batu berlumut. Flora menengok ke kanan dan kiri, dia langsung tahu bahwa dirinya ada di dalam rumah sakit, tapi kenapa dia tidak pernah tahu mengenai ruangan ini? Flora tidak ingat bahwa kamar perawatan di rumah sakit bisa sebesar ini. Yang dia tahu adalah ruangan berukuran besar ini terlalu mewah untuk seleranya.

Flora dapat melihat seluruh ruang tamu saat menoleh ke arah kanan, serta pria yang tertidur dengan selimut menutupi tubuhnya. Di atas meja terdapat banyak bingkisan dan bunga, serta laptop dan ponsel yang beberapa kali bergetar sebelum mengedipkan cahaya.

Flora menoleh ke kiri, melihat buket berbagai macam jenis bunga yang setengah layu, beberapa daunnya jatuh ke atas meja. Flora ingin membantu bunga-bunga tersebut tapi dia tidak dapat meraihnya. Tubuh Flora terlalu lemah, dia harus berusaha lebih keras untuk menggerakkan seluruh tubuhnya sampai dia dapat berpindah dari kasurnya.

Flora dapat merasakan oksigen yang menutupi mulut dan hidungnya. Dia juga dapat melihat tangannya yang diselipi selang infus yang tersisa setengah. Flora ingin keluar dari sini, tubuhnya terasa gerah ingin melepaskan selimut yang menutupi tubuhnya tersebut.

Flora kembali menengok ke kanan, mencoba mengeluarkan suaranya untuk memanggil pria tersebut, sayangnya suara Flora sangat serak, seakan wanita itu tidak pernah berbicara dalam satu tahun. Dia lalu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Sudah berapa lama dia ada di sini? Dan kenapa dia bisa tinggal di sini dengan selang-selang menutupi tubuhnya?

Flora ingin bangun tapi dia tidak bisa, jadi yang harus dia coba sekarang adalah membangunkan pria yang masih tidur di atas sofa di hadapannya. Flora tidak mengetahui siapa pria tersebut dan apa yang dilakukannya di dalam kamar rumah sakit Flora.

Flora menengok kanan dan kiri, yang dia lihat hanya vas bunga berisi bunga setengah layu tersebut. Flora tidak punya pilihan lain selain untuk menumpahkannya ke bawah dengan goyangan pelan tubuhnya.

Vas tersebut jatuh ke lantai bawah dengan suara nyaring yang memenuhi ruangan. Flora mengernyit mendengar suaranya, terlalu keras untuk telinganya yang masih sensitif dengan hal baru di sekelilingnya.

Sebagai jawaban, Caden langsung membuka mata dengan cepat, menyibakkan selimutnya sebelum matanya terpaku pada vas yang jatuh ke lantai, airnya menggenang dan bunga setengah layunya berserakan. Mata Caden beralih ke arah kasur, menemukan Flora yang menatapnya dengan mata membulat.

Caden berjalan gontai ke arah kasur, kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Dia seperti berada di dalam mimpi, berjalan ke arah Flora tanpa berpikir hal lainnya. Matanya terpaku pada wanita yang ada di hadapannya. Caden hanya punya satu tujuan ke mana. Pria tersebut sesekali membatin kata-kata "tidak mungkin", tersenyum lebar sambil sesekali mengusap matanya yang masih setengah terbuka.

How We Fix Sorrow ✅Where stories live. Discover now