BAB 12

692 83 4
                                    

Lily kabarnya akan menginap di rumah Caden. Aku hanya bisa diam mendengarkan Caden dan Lily yang saling menggoda satu sama lain ketika berjalan ke dalam mobil. Tasku masih ada di punggung, Caden menyuruhku untuk duduk di kursi sebelah supir dan lagi-lagi aku mengangguk menyetujui, tidak punya energi untuk menjawabnya.

Kami sampai di apartemen Caden pukul dua pagi. Kami bertiga masuk ke dalam apartemen, masih menunduk ke bawah karena aku tidak ingin melihat wajahku kali ini. Caden dan Lily berdiri di depanku, terlihat tidak memperdulikan kehadiranku kecuali Lily yang terkadang mereferensikan namaku dalam percakapan mereka.

Setelah lift terbuka aku langsung berjalan ke lantai atas, mengunci pintunya dengan cepat sebelum aku berjalan mundur sampai menatap kasur dan terjatuh ke lantai. Aku terisak keras, seluruh badanku bergetar.

Aku menampar pipiku berkali-kali sambil menggigit bibir sampai terasa pahit. Aku berusaha berteriak tapi tidak ada suara yang keluar, sesekali aku mendengar derap langkah Caden yang kamarnya berseberangan denganku. 

Aku menatap pintu dan memperhatikan cela-cela di bagian bawah, ada siluet Lily dan Caden yang berdiri di depan pintu kamarnya. Mereka berdiri di depan pintu lebih lama membuatku menahan napas agar mereka tidak mendengar isakanku.

Saat aku mendengar pintu mereka tertutup, aku kembali terisak. Lali ini isakanku terdengar lebih keras saat aku merasakan suara Caden dan Lily samar-samar di kamar sebelah. Aku menahan dadaku dengan kedua tangan, merasakan dadaku yang panas dan nyeri, entah karena apa.

Pagi harinya aku terbangun dengan posisi tidur terbaring di lantai. Di depanku ada buku harian yang masih terbuka. Aku sempat menulis apa yang terjadi tadi malam sebelum aku menutup buku catatanku, memasukkannya ke dalam boks bersama buku lain. 

Aku menunjuk jam di atas nakas, pukul tujuh. Aku menarik napas pelan sebelum mematikan lampu tidurku, mengeluarkan pakaian kotor milikku sebelum memasukkannya ke dalam boks plastik yang ada di kamar mandi. Aku juga mengambil buku gambarku yang lembarannya menjadi bergelombang akibat air, tidak yakin aku dapat menggambar di permukaannya lagi. Aku harus pergi ke toko buku untuk membeli buku gambar baru yang dapat aku gunakan untuk membantuku tetap tenang saat bekerja.

Setelah mempersiapkan semua sambil membersihkan diri, aku berjalan ke lantai bawah sebelum menekan lift apartemen. Aku tidak ingin menatap lorong, tidak ingin menatap pintu-pintu tertutup, aku hanya menghadap ke lift sambil menggerakkan kaki dengan cepat, menunggu tombol angka yang tertera di layar sebelahku menunjukkan lantai yang kami diami.

"Hei!" 

Mataku membulat, tubuhku kaku. Aku berhenti memainkan kedua tanganku sebelum menggigit bibir. Aku tidak ingin bertemu dengannya; aku tidak tahu apa yang aku katakan kepadanya saat aku menunjuk mataku yang terasa sembab dan panas serta pipiku sedikit nyeri.

Saat bel lift terbuka aku langsung masuk ke dalamnya, menekan tombol lobi berulang kali menunggu lift tertutup sambil menunduk ke bawah, membuang pikiran sambil mencoba berpikir tentang mekanik lift yang mengangkatku ke bawah dan ke atas apartemenku.

"Hei! Aku berbicara padamu." Aku mendongak ke arahnya dengan cepat,  melirik kakinya yang mencegah pintu lift tertutup.

Aku masih mengenakan tudung sweter dan juga celana longgarku. Aku membenarkan tudung sweterku sebelum menatapnya tidak yakin.

"Selamat pagi," ucapku ragu.

"Kau meninggalkan cincinnya di meja sebelum kita pulang." Aku melihat cincin yang ada di telapak tangannya sebelum aku menawarkan tanganku. Dia memberikan cincinnya ke arahku sebelum berputar arah menjauh. Aku tidak sempat membuka mulutku untuk mengatakan terima kasih sebelum pintu lift tertutup.

How We Fix Sorrow ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang