Aku memiringkan kepala. "Siapa?"

"Err. . . Jodi. . . dan Tanya?" Caden berbicara tidak yakin.

"Jodi dan Tonya?" Aku membenarkan.

Caden berdecak. "Ya, terserah." Dia memutar mata, menghabiskan makan siangnya sementara aku mengambil sendok ketiga dan memasukkannya ke dalam mulut.

Caden mengangguk kecil sebelum mengecup keningku pelan sebelum membawa seluruh makanan kita ke tempat sampah. Dia kembali sambil membawakanmu air minum dari atas kulkas. Aku berusaha membuka botolnya tapi sayangnya aku tidak terlalu kuat, jadi Caden mengambil botolnya dariku sebelum ia membukanya dengan mudah, memberikannya kepadaku dengan seringaian sombong di wajahnya.

Dia mendorong kursi rodaku ke sebelah kasur, pria tersebut menggendong tubuhku dengan mudah, meletakkanku ke atas kasur sambil membawakan botol minumku di tangannya.

"Terima kasih," ucapku bersyukur. Caden mengangguk, dia kembali ke ruang tamu sebelum mengeluarkan laptopnya.

Aku baru menyadari bahwa Caden dapat bekerja dari rumah sekarang. Pria tersebut mengatakan kepadaku bahwa dia tidak lagi mengurus perusahaan orang tuanya, jadi dia punya waktu lebih efisien untuk mengurus perusahaan barunya dan juga perusahaan gabungannya.

Jodi dan Tonya datang beberapa jam kemudian, membawakanku roti cokelat dan juga bunga matahari yang masih terlihat segar. Aku mengangguk kecil, kami bertiga saling berbicara mengenai apa yang terjadi dengan perpustakaan. Mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka mempekerjakan orang baru untuk menggantikan posisiku. Aku mengangguk memahami sebelum kami membahas hal lainnya, dengan mengucapkan terima kasih kepada Jodi karena membawaku ke rumah sakit. Aku harap aku dapat membalas perbuatan baiknya. Jodi sangat banyak membantu sejak kami berdua bekerja di perpustakaan.

Kami bertiga berbicara selama dua jam sebelum mereka harus kembali, tidak lupa menyapa Caden sementara pria tersebut hanya mengangguk kecil sebelum dia kembali mengerjakan proyeknya dengan serius, bahkan tidak mendengar Jodi dan Tonya yang mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Aku penasaran dengan apa yang ia kerjakan.

Aku duduk di kasur, tidak tahu harus melakukan apa. Aku juga tidak ingin tidur, aku tidak lelah. Aku ingin turun dari kasur untuk melatih kaki dan tanganku. Aku mengambil bola yang Dokter Morgan berikan kepadaku sebelum meremasnya sekuat tenaga. Aku mengikuti cara yang diajarkan oleh Dokter Morgan agar kegiatan yang aku lakukan dapat menjadi efektif.

Dari belakang aku dapat mendengar Caden yang menutup laptopnya. Aku menoleh sebelum melihat Caden datang ke arahku, matanya menatapku lelah sebelum ia berdiri di hadapanku.

"Apa yang kau lakukan?" Dia menyibakkan anak rambut poniku. Aku bergerak mundur dengan tidak yakin. Gestur Caden selalu mengagetkanku. Aku masih tidak tahu alasan dia melakukan ini kepadaku, terakhir kali dia menyuruhku untuk keluar dari apartemennya sebelum semuanya terjadi.

"Kau sedang berpikir, aku dapat melihat alismu berkerut dan bibirmu sedikit manyun." Caden memperhatikan wajahku. Dia meletakkan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri kasur, menjebakku yang meletakkan kedua tangan di depan dada. Aku membulatkan mata sebelum mengelus pipiku yang panas. Mendongakkan kepala ke Caden, aku dapat melihat pria tersebut tersenyum menang sebelum tangannya menangkup pipiku yang panas.

"Caden, apa yang terjadi denganmu?" gumamku. Caden meneguk ludah, senyuman menghilang dari wajahnya tergantikan dengan alis tebalnya yang menyatu.

"Sudah aku bilang, aku ingin mencoba ini, kita." Caden menjawab.

Aku menggigit bibir. "Aku tidak ingin kau berada di sini karena merasa buruk mengenai apa yang terjadi denganku."

Caden menghembuskan napas cepat. "Kau tidak tahu berapa kali aku harus menahan untuk mencium bibirmu. Aku menyukaimu. Sedikit terlambat mengucapkannya karena kau sedang koma. Aku mulai tertarik untuk memahamimu setelah membaca buku catatanmu—aku tahu aku tidak seharusnya membacanya—dan aku ingin mencoba ini. . . kita."

How We Fix Sorrow ✅Where stories live. Discover now