Aku membawanya ke ruang tamu dan pria tersebut langsung berbaring sambil menggeram. Aku mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan menyelimutinya dengan selimut yang menumpuk pada boks rotan di bawah meja.

Aku kembali memegang keningnya sebelum pria itu menepis tanganku dengan pelan. Aku berjalan mundur tidak tahu ingin melakukan apa.

"Kau butuh aku menelpon seseorang?" Aku bertanya tidak yakin, menggosok kedua tanganku yang kedinginan sambil sesekali memperhatikan gerak-gerik Caden yang terlihat sangat aneh dari biasanya.

"Perutku rasanya seperti tertusuk." Dia akhirnya membuka suara. Aku mengangguk paham, berjalan ke dapur untuk mengambil kain kering lalu menambahkan air panas pada wastafel.

"Kau mau ke dokter? Mungkin kau ingin aku menelpon seseorang?" Aku kembali berjalan ke arahnya tapi pria tersebut sudah menutup matanya.

"Caden." Aku menepuk pipinya pelan.

"Caden." Aku menyibakkan rambutku ke balik telinga.

"Caden." Aku mengelus pipinya sebelum menggoyangkan tubuhnya pelan.

Aku menggigit bibir kecil sebelum meletakkan kain hangat tersebut ke keningnya. Aku melihat ponselnya yang ada di meja, dengan cepat aku meraihnya sebelum membuka kontaknya, sayangnya ponselnya terkunci, jadi aku menarik jempol Caden pelan sebelum menempelkannya ke layar.

Aku menghembuskan napas lega saat ponselnya dapat membuka, mencari seseorang yang mungkin dapat membantu Caden sampai aku melihat satu nama. Aku menempelkan ponsel Caden ke telingaku sambil menggoyangkan kakiku ke atas dan ke bawah.

Saat seseorang tersebut menerima panggilannya aku langsung membuka suara. "Mal, ini Flora. . . Caden pingsan dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. A-aku pulang menuju apartemen lalu melihatnya ada di toilet sambil muntah-muntah. Terus aku mengecek suhunya dan ke-keningnya sangat panas, aku tidak tahu apa yang aku lakukan. Mal. . . dia mengatakan bahwa perutnya rasanya tertusuk. Aku mengatakan kepadanya jika dia mau ke rumah sakit tapi dia pingsan; aku mencoba membangunkannya tapi dia tidak bangun. Aku butuh bantuanmu." Aku menarik napas dalam sebelum menelan ludah.

"Tenang, Flora. . . kau berbicara terlalu cepat. Caden sekarang pingsan, benar?" Dia mengkonfirmasi, terlihat tenang saat aku mendengarkan jawabannya.

Aku mengangguk sebelum menjawab, "Ya, dan tubuhnya panas, ia juga muntah, lalu perutnya rasanya ditusuk."

"Oke, aku paham. Aku akan menelepon dokternya sekarang, kau tunggu di sana, oke?" Dia berkata dari balik telepon.

"Apa yang harus aku lakukan?" Aku menggumam.

"Tetap jaga dia saja, aku akan segera ke sana." Dia nampak tenang, aku tidak tahu apa yang terjadi.

"Kau tahu apa yang terjadi padanya?"

"Aku punya dugaan, tapi butuh dokter untuk memastikan."

"Oke, terima kasih, Mal."

"Sama-sama. Tenang saja, dia akan baik-baik saja." Aku mendengar Mal tertawa kecil di balik telepon sebelum dia berpamitan dan menutup teleponnya.

Aku meletakkan ponsel Caden ke atas meja sebelum duduk di sofa yang ada di hadapannya. Kedua tanganku berkaitan sementara kakiku bergerak tidak nyaman. Pria tersebut masih terlihat terlelap di depanku. Aku tidak tahu apa dia pingsan atau tidur. Aku memperhatikannya entah selama berapa lama sebelum aku mendengar pintu lift apartemen terbuka.

Mal datang dengan seseorang yang mengenakan pakaian kaos polo dan celana jeans. Dia membawa koper di tangan kanannya sebelum mereka berjalan ke arahku. Aku bernapas lega. Mal memelukku pelan sebelum membuka suara.

How We Fix Sorrow ✅Where stories live. Discover now