Mal mengatakan kepadaku bahwa mereka mencoba membuat perusahaan bersama. Di bidang keamanan dan saluran bersama tepatnya, karena itu mereka memutuskan untuk memilih Hawaii untuk mencari sponsor karena menurut mereka sebagian besar investor di Hawaii tertarik dengan perusahaan di bidang komunikasi dan agribisnis. Tentu saja tujuan pertama mereka adalah untuk mencari investor yang dijadikan sponsor untuk menambah popularitas mereka. 

Aku sangat menghargai usaha mereka untuk melakukan semua hal ini. Maksudku seluruh hal ini sangat sulit untuk diwujudkan, apalagi melibatkan seluruh negara untuk dapat membantu mereka mewujudkan perusahaan yang sukses ini.

Aku hanya bisa mengangguk-angguk setiap mereka membicarakan sesuatu yang sangat detail yang tidak dapat aku pahami dengan baik. Aku beberapa kali bertanya apa arti istilah-istilah yang digunakan oleh mereka. Mereka dengan pelan menjelaskannya kepadaku jadi sekarang aku menambah kosakata dalam bisnis di dalam otakku.

Kami bertiga berbincang-bincang pelan selama beberapa jam ke depan, tidak menyadari bahwa kami sudah sampai di Hawaii, tempat tujuan kami. Aku mengambil tas ransel milikku lalu membawanya pada punggungku. Aku turun ke bawah disusul oleh Sydney. 

Aku dapat merasakan terik matahari yang membuatku gerah. Aku tidak pernah segerah ini, mungkin dikarenakan aku yang menggunakan hoodie tebal serta celana panjang regang menutupi mata kaki. Sydney datang di belakangku sambil melepas jas miliknya, menyisakannya dengan kaos putih dan celana kain biru dongkernya. Wanita tersebut memasang kacamata miliknya sebelum menggandeng tanganku menuju ke dalam mobil limosin yang berdiri di luar bandara.

"Sekarang jam berapa?" Aku bertanya.

"Pukul setengah lima sore." Dia menggumam. 

Sydney masih menuntunku ke dalam limousin dengan supir mobil yang membawakan barang kita berdua ke dalam bagasi. Dia masuk ke dalam mobil sementara aku masih berdiri di depan menunggu yang lain.

"Kita harus menunggu yang lain," ucapku sambil menutupi wajah dengan kedua tangan karena silau.

Sydney berdecak. "Kau bisa menunggunya di dalam sini, lebih dingin dan tidak panas." 

Aku masih berdiri di luar, masih belum melihat di mana yang lain berada. Sydney masih memaksaku untuk masuk sebelum aku akhirnya mengangguk menyetujui. 

Sepuluh menit kemudian aku dapat mendengar bagasi mobil yang kembali terbuka. Aku dapat melihat Lila dan Lily yang mengenakan kacamata hitam. Mereka mengubah pakaian mereka menjadi. Mal datang sambil meletakkan kopernya ke dalam bagasi sebelum membantu para wanita dan supir untuk menata. Caden datang terakhir dengan jas yang ia lepas menyisakannya dengan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. 

Mereka masuk ke dalam limosin berdampingan. Aku duduk di pojok sementara Sydney duduk di tengah. Mal duduk di sebelah Sydney sedangkan di depan kita sudah ada tiga orang lainnya yang duduk berdampingan dengan kami. 

Lily menggenggam erat tangan Caden, sesekali mengecupnya pelan sebelum menatapku. Aku tidak paham apa alasannya melakukan itu tapi aku jelas-jelas tidak merasakan hal apapun kepada Caden. 

"Apa kita semua tinggal serumah?" bisikku kepada Sydney, masih menggenggam ponselnya sebelum menatapku pelan.

"Ya, kita tinggal di vila milik keluarga Caden, karena itu dia seenak jidat mengajak orang lain selain kita berdua. . . dan kau tentu saja." Dia memutar mata. 

"Aku tidak tahu apa yang aku lakukan di sini. Maksudku kalian bertiga akan sibuk setelah kita tiba, dan kau tahu. . . aku rasa aku, Lila, dan Lily tidak akan senang dengan satu sama lain." Aku melirik Lily yang masih menenggelamkan kepalanya pada pundak Caden sementara Lila yang mengambil beberapa foto menggunakan flash membuat mataku sedikit sakit. "Lagipula mereka terlihat menakutkan," bisikku ke telinga Sydney.

How We Fix Sorrow ✅Where stories live. Discover now