"Aku yakin kau masuk ke dalam tom donator bulan ini. . . dan bulan sebelumnya. . . dan sebelumnya." Gibson tersenyum kecil sambil meraba amplop yang aku berikan kepadanya beberapa detik yang lalu.

Aku menatapnya sambil menunjukkan gigi. "Aku punya tabungan sisa, aku harap aku bisa membantu dengan memberikan mereka sanitasi baru."

Pria itu menggeleng pelan sebelum tersenyum kepadaku. "Terima kasih." Aku mengangguk cepat sebelum ia berdiri dari kursinya. "Oke, kau mau bertemu mereka?" tanyanya antusias. Aku kembali mengangguk, tersenyum lebar sambil membuntuti pria tersebut dengan bibir tersungging ke atas.

Gibson memasang topi basebalnya sambil membawa rentetan kunci di saku celana linennya. Aku mengikutinya dari belakang, mengintip pintu setelah dia membuka tiga pintu yang mengarah ke tempat kucing, anjing, serta hewan lainnya.

Aku masuk ke ruang anjing, sesekali menoleh ke kiri dan kanan untuk melihat lebih banyak kandang yang penuh dengan anjing-anjing baru yang belum aku jumpai beberapa bulan terakhir.

"Beberapa datang dari aktivis hewan yang menemukan mereka di rumah besar tidak berpenghuni. Mereka asumsikan pemilik rumah tersebut merupakan seorang fast breeder yang ingin mendapatkan keuntungan langsung." Dia berdecak kasar. Aku melihat satu anjing chihuahua yang memojok di ruangan sambil sesekali meringik ke arahku.

Aku terus berjalan ke sekeliling ruangan sebelum menyipitkan mata. "Di mana Bonnie?"

Gibson menarik napas dalam sebelum menatapku dengan alis menurun. "Suntik mati, kankernya menyebar dengan cepat dan kita tidak punya banyak uang untuk menanggulanginya."

Aku menggigit bibir bawah. Bonnie—anjing pug umur sepuluh tahun yang di bawa ke sini karena keluarganya yang dulu tidak mau mengurus setelah dia terkena kanker. Bonnie kehilangan dua bola matanya, membuat pug tua itu buta total, tapi dia sangat manis, sangat disayangkan bahwa hidupnya tidak berakhir dengan baik.

Gibson meninggalkanku di dalam ruangan sendiri. Ada area bermain anjing yang biasanya aku gunakan untuk melatih anjing dengan perintah-perintah sederhana. Aku mengeluarkan satu anjing dari kandangnya sebelum mengajak mereka bermain di taman belakang, lalu berganti ke anjing lainnya. . . dan lainnya.

Mengusap keringat aku menatap jam tangan. Pukul dua siang. Aku mendapat pesan dari Ibu yang menyuruhku untuk pulang, entah apa yang ia rencanakan, aku harap bukan hal buruk.

Menutup pintu anjing dari luar, aku berjalan menuju ke ruang utama, melihat Gibson yang sedang melayani salah satu keluarga dengan dua anak sepuluh tahun di depannya. Aku menunjukkan jempolku kepadanya sebelum keluar dari tempat tersebut. Menaiki bus aku menunggu setengah jam sebelum dapat kembali ke rumah.

Di depan pintu sudah ada ibu yang menyilangkan kedua tangan. Ia menatapku tajam sebelum hidungnya mengerucut. Wajahnya dilapisi oleh masker berwarna putih dan hijau sementara di tangannya membawa roller wajah.

"Dari mana kau?" Ia bertanya sambil berjalan mundur agar aku tidak bersentuhan dengannya.

"Pusat kota, jalan-jalan," gumamku.

"Baumu seperti orang gelandangan. Cepat ganti baju, kita diundang makan malam. Kita akam berangkat pukul empat sore, jangan menunda waktu," jelasnya, berjalan menjauhiku sementara aku langsung mengangguk dan berlari ke lantai atas memasuki kamar.

"Kenapa mengundangku? Biasanya kalian pergi sendiri." Aku bertanya lelah, tapi yang aku dapatkan hanya tatapan tajam ibu kepadaku.

Aku menghabiskan waktu satu jam menatap lemari pakaianku. Aku tidak punya banyak gaun; aku tidak ingin melihat diriku dengan gaun. Tapi saat ibuku mengenakan masker dan juga roller, aku tahu apapun rencananya makan malam ini akan sangat mewah.

How We Fix Sorrow ✅Where stories live. Discover now