~~~~~

Tiiiit....... Tiiiiit...... Tiiiit...... suara monitor ruang operasi sudah dinyalakan.

Aku sudah berganti pakaian dengan gown hijau khas ruangan ini, terpasang selang infus dan duduk di kursi roda di depan pintu masuk ruangan steril 2.

Sepi. Tidak ada perawat atau suamiku disini. Sekitar 10 menit menunggu dan akhirnya ada perawat anastesi yang menghampiriku, lalu menuntunku pindah ke atas brankar. Mengganti jilbabku dengan penutup kepala hijau senada dengan gown yang kupakai.

Aku pasrahkan segalanya pada Allah. SWT, mungkin ini sudah kehendak-Nya. Menunggu 2x24 jam pembukaan tidak kunjung bertambah, yang lebih mengkhawatirkan lagi ketumbanku masih terus merembes dan bisa saja habis jika dokter tidak segera mengambil tindakan. Yang kupikirkan hanyalah keselamatan anakku sekarang.

"Hai, Mia.... Masya Allah, hampir gak aku kenali tadi." sapa seorang sahabat lama.

"Hai, Uni. Apa kabar?" balasku.

Uni adalah kawanku saat kuliah di AKPER dulu dan dia sudah setahun ini bekerja sebagai perawat instrumen di ruang operasi ini.

"Alhamdulillah, baik. Akhirnya perawat OK juga bisa jadi pasien OK yaa, hehe..." candanya.

"Hmmm yaa mau gimana lagi, Uni. Demi bisa ketemu sama anak. Eh tapi bukan kamu yang tindakan 'kan? Please.... Jangan dong?"

"Hahaha..... Emang kenapa kalo aku yang tindakan?"

"Please, Uni.... Kasihkan temanmu yang lain aja yaa!?"

"Oke.... Okee.... Kasian bumil nie!? Lagian bentar lagi masuk Jum'atan jadi aku gak bisa ikut juga. Nanti yang ngerjain cewek semua kok! Aku tau kamu, Mia."

"Alhamdulillah, makasih yaa Uni. Kamu memang pria yang baik,"

"Semangat yaa bumil, insyaa Allah dedek lahir dengan sehat dan selamat."

"Aamiin..... "

"Aku tinggal dulu ke masjid yaa... "

Lalu, seorang suster muda mendorong brankarku masuk ke ruang steril 1.

Dinginnya AC mulai menusuk kulitku yang hanya tertutup sehelai kain hijau. Aku memposisikan tubuhku di atas meja operasi yang sangat sempit. Lalu seorang dokter anastesi membantuku duduk membungkuk agar ia bisa menyuntikkan obat anastesi lumbal dan ini sangat sulit karena si jabang bayi masih aktif menendang di situasi seperti ini.

"Membungkuk sebentar yaa Bu, saya injeksikan obat di punggung ibu. Agak sakit sedikit yaa."

"Aaahh...." aku sedikit kaget.

"Kenapa, Bu? Sakit banget yaa?"

"Bukan dokter. Bayinya masih nendang keras, jadi saya kaget."

"Owalaaah.... Hahaha... "

Setelah sukses memasukkan obat, tubuhku ditata kembali dengan posisi terlentang dan kedua tanganku dibentangkan lalu diikat agar tidak jatuh. Ada alat tensimeter yang terpasang di lengan kiri dan saturasi oksigen di ibu jari. Semua tim operasi mulai bekerja.

Perawat menutupi area tubuhku menjadi 2 bagian, perutku masih terasa sedang dibaluri dengan cairan bethadine dan ditutupi dengan beberapa alas kain hijau lalu menguncinya dengan klem.

"Coba dari kemarin Bu Mia, pasti kondisinya tidak semengkhawatirkan hari ini."

"Maaf dokter, saya hanya berusaha semampu saya."

"Hehehe... Iyaa tidak apa-apa. Masih terasa perutnya?"

"Sudah tidak terasa, dokter."

"Okeee, kita buka sekarang yaa. Mbak Wi, putar lagunya dong!" ucap dokter Robert yang biasa menanganiku sejak awal kehamilan. Setiap kali dokter melakukan tindakan operasi biasanya akan ada lagu yang menghibur mereka agar suasana ruangan menjadi rileks dan pasien tidak takut.

Catatan Hati Seorang Istri PrajuritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang