68. BUKAN CERITA YANG HARUS DI AKHIRI

Start from the beginning
                                    

"Dan komplikasi asmanya semakin gila, puas lo?" sahut Pati mencampuri penjelasan Dokter Farla.

"Lo ngaku cowoknya, tapi— bahkan hal kecil seperti ini lo nggak tahu," kata Pati lagi. "Pantas kok Aurora mutusin lo."

"Gue nggak bicara sama lo, anjing!" bentak Angkasa.

Benar. Ucapan Pati memang menusuk, dan Angkasa sekarang tahu dimana posisinya di dalam hati Aurora. Ya, Pati jauh lebih dekat dengan Aurora dibandingkan dia, pacarnya sendiri. Menyakitkan? Iya bangsat!

"Permisi, Dok, Atlas sudah menunggu di ruangan Dokter sejak tadi," ujar suster yang menghampiri Dokter Farla.

"Oke, saya ke sana sekarang," kata Dokter Farla. Sebelum Dokter bermata lentik itu pergi, ia lebih dulu menatap Angkasa lekat, penuh kerinduan, kemudian akhirnya memutuskan pandangan dan pergi.

Aurora perempuan yang baik untuk kamu, Angkasa. Pantas kalau se-gila itu perasaan yang hadir di antara kalian.

Setelah Dokter Farla pergi, Angkasa menghalangi jalan Pati, cowok bermata elang itu lebih dulu menggenggam knop pintu ruangan rawat kemudian masuk ke dalamnya.

Pati tidak akan masuk, cowok itu berurusan dengan Razi di luar.

Dengan langkah ragu, Angkasa mendekati brankar Aurora. Banyak alat medis yang terpasang di sampingnya, dan itu menyayat hati Angkasa. Perempuan kesayangannya sedang sakit.

Angkasa menarik kursi kecil di samping brankar, ia mengubah posisinya menjadi duduk. Tangan kanannya menggenggam tangan Aurora yang tidak terpasang infus.

"Sayang ...," panggil Angkasa, suaranya sangat pelan, nyaris tak dapat di dengar.

Walaupun tadi hal menyakitkan  menembaknya berkali-kali dari mulut perempuan ini, tapi tidak akan pernah berhasil mengubah apa yang Angkasa miliki untuk Aurora.

Perasaannya masih sama bahkan ketika Aurora menyakitinya seperti ini.

Hati Angkasa masih milik Aurora bahkan ketika Aurora sendiri mendeklarasikan hubungannya dengan Pati.

Semua masih sama, ia masih Angkasa-nya Rora, kemarin, hari ini, besok dan selamanya.

Angkasa adalah tipikal orang yang sekali jatuh cinta, ia akan jatuh cinta terus, hingga orang itu sendiri yang bertingkah dan membuktikan bahwa ia bukan orang yang pas untuk dijadikan 'teman jatuh cinta'. Tapi kali ini beda, apapun itu, jatuh cintanya adalah Aurora.

Perasaan memang hadir begitu dangkal dan penuh lelucon, kita tidak bisa menebak apapun dari 'kata-kata' apalagi 'perbuatan'. Karena, yang paling jujur membuktikan perasaannya adalah hati, tidak bicara, tidak bertingkah, tapi ia tahu siapa dan bagaimana tempatnya berlabuh.

"Ra? Sembuh ya?"

Entah sebuah permintaan atau harapan, yang pasti Angkasa ingin suaranya ini di dengar oleh Tuhan.

"Gue nyariin lo, Ra, gue khawatir, gue rindu banget sama lo, gue kehilangan semangat gue, gue kehilangan Rora gue," Angkasa menjeda ucapannya, "Kembali untuk gue, Ra."

Aurora masih setia memejamkan matanya, hanya alat elektrokardiogram yang terpasang di samping kanannya, menampilkan garis hijau bergelombang, yang memberi tanda kalau perempuan kesayangannya masih hidup.

"Satrova rindu sama ibu ketuanya juga," sahut Angkasa lagi.

"Kenapa harus lari sih, Ra?"

"Kenapa lo harus sembunyiin gue?" tanya Angkasa beruntun.

Aurora tidak akan mendengar ucapan Angkasa. Tapi dengan ini, Angkasa legah, akhirnya, ia bisa mengeluarkan semua unek-uneknya dengan orang yang tepat.

DIA ANGKASA Where stories live. Discover now