32. BERJARAK

Mulai dari awal
                                    

Aurora dan Vana melanjutkan langkahnya, kini, dua orang itu menjadi pusat perhatian sekarang. Kemudian, setelah itu, mereka sampai tepat di koridor sepi yang tidak di jarah oleh siswa-siswi SMANDA. Entah untuk apa Vana mengajaknya ke sini.

"Apa, Va? Lo mau bicara apa sama gue?" tanya Aurora.

"Ra, serius Angkasa pacaran sama Analisa?" tanya Vana hati-hati kepada Aurora.

Aurora mengangguk, "biarin aja."

"Ra, lo nggak papa?"

"Gue harus apa, Va? Udahlah, gue males bahas tentang Angkasa mulu," kata Aurora memberi isyarat kepada sahabatnya untuk tidak lagi menyebut nama cowok itu di depannya.

Patah hati itu bermacam-macam, ada yang meluapkannya dengan emosi, tangis, ada juga yang memilih diam, kehilangan kalimat, seperti yang sedang Aurora alami.

"Lo rela?" tanya Vana. Entahlah pertanyaan itu muncul dari mana.

"Mereka udah pacaran dari dulu, sebelum gue datang," ungkap Aurora. "Gue rela, karena emang gue yang harus pergi."

"Tapi kalau Angkasa milih lo?" tanya Vana berusaha memberikan peluang kepada sahabatnya, tetapi Aurora langsung menggeleng.

Aurora menghentikan langkahnya, "Gue siapa yang harus dia pilih, Va?"

"Gue cuman anak kemarin sore disini, gue cuman orang baru di hidup Angkasa, gue maupun dia, memang bukan siapa-siapa, kita nggak ada hubungan, nggak ada hal yang pernah gue mulai sama dia, dan itu artinya nggak ada yang berakhir 'kan?, mungkin kemarin hanya sebuah fiksi menyenangkan yang tiba-tiba gue jalani, dia mendekat, lalu pergi begitu saja," jelas Aurora. Sebelumnya ia tidak pernah mengatakan hal sepajang ini pada Vana.

"Toh di bandingkan gue sama Analisa, perempuan itu jauh lebih bisa di banggakan,"

"Dia pintar, the queen of mathematics, cantik, dia punya banyak teman, lalu gue apa?"

"Ra," panggil Vana.

"Benar kata Widya, Angkasa nggak mungkin melirik cewek kayak gue," ucap Aurora lagi tanpa memedulikan panggilan Vana. "Gue cuman cewek berpenyakitan yang tahunya nyusahin orang."

Keduanya sama-sama terdiam, Aurora menghentikan ucapannya, dan Vana belum memiliki kalimat yang pantas untuk ia sampaikan. Ia tahu, tidak ada yang baik-baik saja saat di landa patah hati. 

"Tapi tenang aja, Va. Gue janji, setelah ini gue nggak bakalan biarin Angkasa datang, dan ngusik hidup gue lagi, kemarin dan hari ini, mungkin gilirannya yang membuat gue terluka," sahut Aurora dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kita nggak bisa mengontrol perasaan orang, Va. Ini salah gue, yang terlalu perasa, padahal nyatanya dia hanya ingin jadi teman, nggak lebih," 

Sejujurnya kalimat ini juga sangat menyakitkan untuk Aurora ungkapkan, kemarin hari-harinya penuh warna, bernyawa, karena ada orang yang dengan baiknya menjulurkan tangannya, walaupun first impression tidak begitu menyenangkan, dan orang itu juga tidak terlampau istimewa dengan banyak kelebihan. Tetapi anehnya, sukses membuat Aurora merasa percaya diri. 

"Tapi kalau dia cuman mau jadiin lo teman, kenapa dia memperlakukan lo seperti pacarnya, Ra?" tanya Vana. Sejujurnya ia juga bingung dengan sikap Angkasa. 

"Itu yang nggak bisa kita prediksi, perlakuan seseorang. Seperti yang lo selalu bilang, Va, bisa aja kan dia bersikap cinta tetapi aslinya tidak, iyakan? awalnya gue ragu dengan kalimat itu, sampai Angkasa yang membuktikan sendiri sama gue." 

"Lo pernah jatuh cinta sebelumnya?" tanya Vana. 

Aurora menggeleng, "Ini kali pertamanya, dengan orang yang salah." 

DIA ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang