Gadis menatap tas ransel Fjallraven Kanken yang dulu sering ia pakai untuk kuliah. Berbeda dengan dulu ketika tas ini berisi laptop, alat tulis dan berbagai macam tugas kuliahnya, kini tas ini berisi baju dan perlengkapan pribadinya. Kali ini misinya harus berhasil meskipun ia harus sedikit berbohong pada kedua orangtuanya.
Tok...
Tok...
Tok....
"Masuk," Ucap Gadis sambil segera menutup resleting tas berwarna merah marron itu.
Gadis tersenyum kala melihat Banyu berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Mas, masuk. Jangan disitu aja."
Mendengar perkataan Gadis, Banyu segera melangkahkan kakinya untuk mendekati adik semata wayangnya ini. Baru saat sampai di dekat Gadis, Banyu memilih untuk duduk di pinggiran ranjang berukuran king. Ia tatap adiknya yang tampak bahagia. Berbeda dengan dua hari yang lalu kala mereka berdebat hebat, hari ini seakan Gadis sudah melupakan semua kejadian itu.
"Kamu serius mau ke Jogja sendiri?"
"Iya, Mas."
"Biar Mas antar aja atau pak Manto. Lebih enak naik mobil daripada kereta."
"Aku sengaja naik kereta, Mas soalnya aku belum pernah naik KRL yang Jogja-Solo."
Banyu tersenyum mendengar perkataan Gadis. Sejak dulu memang adik perempuannya ini termasuk perempuan yang mandiri dan tidak suka merepotkan orang lain. Mungkin ini juga yang membuat Dipta memilih menikahi Gadis karena Gadis terlalu mandiri hingga jarang merepotkan orang-orang disekitarnya. Terbukti juga ia tidak banyak mengeluh ketika setelah menikah, Dipta tidak memberinya asisten rumah tangga. Semua Gadis kerjakan sendiri dari membersihkan rumah hingga memasak. Untuk ukuran seorang perempuan yang sejak lahir sudah hidup berkecukupan, Gadis termasuk yang patut diapresiasi menurut Banyu.
"Memangnya kamu di Jakarta enggak naik KRL kalo kerja?"
"Enggak, Mas. Aku naik mobil soalnya Mama sama Papa enggak ijinin aku naik kendaraan umum. Maunya dulu credit rumah aja, tapi Mama sama Papa justru bilang untuk ambil apartemen. Keamanan dan kenyamanannya lebih baik buat single kaya aku."
Seketika Banyu ingat jika apartemen Gadis dibeli secara kredit. Apakah sudah lunas atau justru sudah tinggal kenangan karena Gadis sudah tidak bekerja yang membuatnya kesulitan untuk membayar angsurannya?
"By the way apartemen kamu sekarang gimana kabarnya?"
"Disewa sama ekspatriat asal Inggris."
"Enggak ada tunggakan cicilan 'kan, Dis?"
Gadis tertawa mendengar perkataan Banyu. Memang ia sempat bingung harus bagaimana membayar cicilan diawal ia resign dari kantor. Karena tidak mungkin ia meminta uang pada suaminya. Gadis tidak mau apartemennya dianggap gono gini karena Dipta ikut membayar cicilannya meskipun ia beli sebelum menikah.
"Enggak, Mas. Tenang aja, aku jual saham buat cicilan bulanannya dulu sebelum laku disewa. Kalo sekarang sih sudah jelas uang sewa buat bayar cicilan."
"Alhamdulillah kalo begitu. Nanti kalo kamu ke Jogja, jangan lupa tengok kost-kostan aku yang baru aja selesai di bangun."
"Memang berapa pintu sih sampai harus ditengok?"
"32 pintu, Dis."
Satu detik...
Dua detik....
Tiga detik....
Gadis cukup terkejut dengan informasi dari Banyu ini. Siapa sangka di usia 35 tahun kakaknya sudah bisa menginvestasikan uangnya dengan membangun kost-kostan di Jogja.
"Okay, Mas nanti aku tengok."
"Jangan lupa kamu foto di depannya buat bukti ke aku kalo kamu beneran sampai ke sana."
Deg'
Jantung Gadis seakan baru saja menabrak tulang rusuknya kala mendengar perkataan kakaknya ini.
"Harus gitu, Mas?"
"Harus, Dis karena nantinya aku yang akan minta kamu buat kelola kost-kostan itu," kata Banyu yang sukses membuat Gadis membelalakkan kedua matanya.
Kini Banyu memilih untuk berdiri dan segera berjalan menuju ke pintu. Sambil berjalan, ia berujar, "Buruan, Dis siap-siapnya. Aku antar kamu ke stasiun."
"I.. Iya, Mas," Ucap Gadis yang baru saja bisa kembali menapaki realitasnya.
Setelah Banyu menutup pintu kamar, Gadis segera mengambil tas selempamg kecil miliknya. Ia cek handphone, dompet, charger, tisu, masker hingga hand sanitizer yang semua lengkap ada di dalamnya. Saat mengalungkan tas itu di bahunya, tiba-tiba Gadis terdiam dan jsutru fokus melihat laci kecil di dekatnya. Ia jadi teringat tentang hadiah pernikahannya dari Gavriel. Sebuah kunci yang menurut Gavriel adalah tempat di mana ia bisa menghilang tanpa ada seorang pun yang bisa menemukannya. Gadis tersenyum dan segera ia membuka laci itu. Ia ambil kotak kecil berwarna emas itu lalu membukanya. Ia ambil secarik kertas itu bersama kuncinya. Kini Gadis masukkan kado pernikahan dari Gavriel itu di dalam tas miliknya.
"Gadis..." Suara teriakan dari bawah membuat Gadis segera menutup laci itu kembali dan mengambil tas ranselnya.
"Iya, Mas... Lagi jalan," sahut Gadis yang tidak kalah berteriak.
Setelah ia sampai di lantai satu rumah orangtuanya, Banyu segera mengajak Gadis untuk menuju ke halaman rumah. Saat sampai di sana, pintu Alphard hitam milik sang Papa sudah terbuka lebar. Ia segera masuk bersama Banyu ke dalam mobil.
Layaknya kakak dan adik, Banyu dan Gadis mengisi perjalanan kali ini dengan obrolan ringan hingga akhirnya Banyu menanyakan sebuah pertanyaan santai namun membuat Gadis harus memutar otaknya untuk menjawab.
"Kamu di Jogja sebenarnya mau ngapain sih, Dis?"
"Ke rumah Om Dimas sama Tante Liz, Mas. Kangen sama mereka."
Banyu menghela napas panjang. Kalo hanya ke rumah om dan tantenya seharusnya Gadis tidak harus sampai menginap, toh Jogja Solo cukup dekat jaraknya tanpa harus menginap.
"Sebenarnya enggak harus menginap juga. Lagipula Om sama Tante itu orang sibuk. Enggak akan bisa temani kamu jalan-jalan."
"Aku cukup tahu Jogja, Mas. Jadi enggak perlu ditemani."
"Ya sudah, nanti kamu jangan lupa mampir kost-kostan sebentar."
"Iya, Mas... iya. Jangan khawatir."
Obrolan Gadis dan Banyu terus berlanjut hingga akhirnya mobil yang dikemudikan Sumanto sudah berhasil parkir di parkiran mobil Stasiun Balapan Solo.
"Mas Banyu enggak usah antar aku sampai di dalam. Sampai di sini aja cukup."
"Beneran?"
Gadis menganggukkan kepalanya. Kini ia segera memeluk kakak laki-lakinya ini sebagai tanda perpisahan. Sambil memeluk Banyu, di dalam hati Gadis, ia meminta maaf pada kakak laki-lakinya terlebih kedua orangtuanya karena ia harus sampai berbohong seperti ini kepada mereka. Karena hanya ini jalan satu-satunya yang Gadis miliki saat ini agar ia bisa keluar dari rumah.
Saat mendengar jika kereta KRL Solo Jogja sudah hampir tiba, Gadis segera mengurai pelukannya pada Banyu dan berjalan menuju ke arah tempat scan kartu e-money. Tidak Gadis sangka jika di hari kerja seperti ini saja suasana stasiun seramai ini. Apalagi saat Gadis sudah berhasil sampai di peron. Semua orang sudah berebut untuk masuk dan saling dorong kala pintu kereta terbuka.
Oh my God...
Sepertinya ini adalah hukuman pertama dari Tuhan untuknya karena sudah berbohong kepada kakaknya terlebih orangtuanya.
Begitu Gadis sudah bisa masuk ke dalam gerbong kereta, ia hanya bisa menghela napas panjang kala melihat begitu penuh sesaknya KRL sore hari ini. Padahal ini masih pukul 4 sore. Bagaimana jika ia berangkat pada saat jam pulang kerja? Tidak bisa Gadis bayangkan akan seperti apa. Kali ini dirinya harus puas untuk berdiri sambil berpegangan. Baru saat sampai di stasiun Klaten, Gadis bisa mendapatkan tempat duduk.
Begitu bisa duduk, Gadis segera membuka handphone miliknya dan mengabari Alena.
Gadis : gue sudah berhasil keluar dari rumah. Sekarang gue lagi ada di dalam KRL menuju ke Jogja.
Tidak perlu menunggu waktu yang lama, ternyata Alena langsung membaca pesannya dan membalasnya.
Alena : lo mau langsung terbang ke Bontang dari Jogja?
Gadis : ya enggak lah, Len. Penerbangan ke Bontang besok jam 09.40 WIB
Alena : yakin lo kalo laki lo ada di Bontang?
Gadis menghala napas panjang kala membaca pesan dari Alena ini. Bagaimana bisa Alana justru kini mempertanyakan hal yang absurd seperti ini.
Gadis : Ini hari kerja, Len. Memang Mas Dipta mau ke mana kalo enggak di Bontang? Dia belum pindah tugas.
Alena : Sebelum jauh-jauh lo terbang ke sana. Coba deh lo iseng kirim delivery food lewat babang ojek online sekalian ngecek rumah kosong apa enggak?
Gadis tersenyum kala mendapatkan solusi pintar dari Alena untuk yang kesekian kalinya hari ini. Baiklah, nanti malam ia akan mengirimkan delivery food sekalian untuk mengecek apakah Dipta berada di rumah atau tidak.
Gadis : cerdas juga lo, Len. Enggak sia-sia gue punya teman gila modelan lo begini.
Alena : memang gue cerdas. Ke mana aja lo baru sadar sekarang? Udah ya, Dis... kita sambung nanti. Gue harus ke ruangannya Gavriel.
Gadis menghela napas panjang kala membaca nama rival di kantornya dulu akhirnya kini sudah naik jabatan. Tentu saja itu mudah bagi Gavtiel mengingat dirinya sudah tidak menjadi saingannya untuk mendapatkan posisi itu. Kini Gadis mulai memasukkan handphonenya kembali ke dalam tas karena kini kereta hampir memasuki stasiun Lempuyangan. Mengingat Om-nya sudah menjemput di parkiran Stasiun Tugu, maka Gadis harus bersabar hingga kereta berhenti di stasiun terakhir.
***