60. Epilogue 📓✍

895 42 57
                                    

Mataku terbuka di sebuah ruang kosong berwarna putih terang. Tidak ada apapun di sini, bahkan bulan, bintang, matahari, ataupun tanah yang terpijak. Semuanya hampa, tidak ada udara juga angin yang berhembus, tapi di sini sejuk dan banyak kabut.

Tidak ada udara?
Tunggu, aku juga tidak bisa merasakan detak jantungku sendiri. Mataku beredar ke penjuru arah, menemukan objek yang bisa terlihat namun tetap saja, hanya ruang hampa. Langkahku menuntun entah ke mana sampai berhenti, tepat ketika lensaku melihat sesosok wanita berbaju serba putih, anggun dengan bunga dandelion di tangannya. Dia meniupnya sangat riang. Ada yang aneh, daun dandelion itu berwarna perak. Aku sekarang bisa memastikan ini bukan di Bumi.

Aku berlari ke arahnya, berharap menemukan jawaban atas kebingunganku. Tempat apa ini?

Semakin mendekat, semakin tidak ada jarak di antara kami. Dalam batas satu meter, aku bisa dengan pasti menebak siapa pemilik wajah itu.

"Naira?"

Dia menoleh sembari tersenyum mendengarku memanggil namanya.

"Aku lama menunggumu. Kau sudah sampai, Ay?"

Panggilan akrab yang sudah lama sekali tidak kudengar, diucapkan Naira dari bibirnya. Dia tidak menua, dia tetap remaja, wajah yang sama persis saat aku mengenalnya di bangku sekolah dulu.

"Ini ... di mana?" Aku bertanya sembari mengedarkan pandanganku.

"Duduklah sebentar."

Aku menuruti ucapan Naira dan duduk di sampingnya, bangku kotak panjang yang sangat putih, tanpa kusadari, sejak tadi pakaianku sama dengan Naira.

"Kau belum jawab, ini di mana?" Tanyaku penuh aura introgasi.

"Jadi, belum sadar?"

Naira menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan lain. Itu bukan jawaban, tapi cukup membuatku memikirkan hal pasti. Telapak tanganku menyentuh sekitar dada, memastikan sekali lagi bahwa aku memang tidak bisa merasakan detak jantungku sendiri. Di mana bulan atau matahari? Mataku terbelalak, aku seperti tidak percaya kalau aku sudah berada di sini.

"Sudah sadar kita di mana?"

"Sudah," gumanku pasti.

"Jadi, bagaimana? Kamu tetap mengikuti mimpi yang jadi pilihan hatimu?"

Naira memegang tanganku, terasa dingin tapi menyejukkan kulit. Rasanya tanganku lebih dingin dari tangannya.

"Iya, tapi pada akhirnya aku menuruti perintah Abi untuk menikah dengan Ilyasah. Naira, nasib kita berdua sama yah. Aku juga tidak sempat melihat dan menemani anakku tumbuh sampai dewasa," jawabku dengan balik memegang tangan Naira.

"Aku yakin, Ilyasah pasti bisa jadi ayah yang baik." Naira kembali tersenyum, matanya seketika membuatku teringat dengan bayinya dan anak kecil yang kutemui di depan Gereja Katedral Myeongdong.

"Naira, putramu ... maaf. Aku sempat menemuinya di depan gereja. Bodohnya diriku ini tidak menyadari anak yang kutemui waktu itu putramu." Sejenak aku mengalirkan air mata.

"Tak apa. Aku sudah tahu semuanya. Tuhan memberikan karunia-Nya sehingga mataku bisa melihat dia tumbuh sampai sekarang."

"Naira, suamimu?"
Tanyaku sangat nekat.

"Ah, aku lupa bilang dia juga sudah menungguku sekarang. Ayo pergi?" Naira menarik tanganku seperti saat kami pertama bertemu dulu.

𝐇𝐢𝐬 𝐅𝐨𝐫𝐭𝐮𝐧𝐚𝐭𝐞 𝐅𝐚𝐧𝐠𝐢𝐫𝐥 ✔Where stories live. Discover now