📖🖊 ♧ 04. Sugeng Rawuh ♧

613 106 28
                                    

Update lagi dong.
Happy Reading Gaes (!)
🥰😘💜

____________________
_________________________

"Ning, menyukaimu dalam diam tidak akan mengurangi sedikit pun adabku sebagai seorang santri."









Surabaya, Ibu Kota Jawa Timur
Indonesia

*****

Maghrib ini kami datang. Rumah Romo dan Ummah tidak berubah sama sekali. Sejak sepuluh tahun lalu kami berkunjung ke sini. Ukiran kayu khas ornamen jawa, kolam ikan depan rumah dan taman kecil sekelilingnya menyambut kami, bersama aroma wewangian bunga-bunga mekar kesayangan Ummah. Tuan Kim waktu pertama berkunjung ke sini, juga bilang kalau taman bunga itu sangat indah. Aku baru sadar perkataannya benar setelah belasan tahun berlalu, di masa depan. Bukan sekarang.

Sambil menaiki tangga kayu teras depan rumah, kepalaku menoleh. Bangunan pondok pesantren tepat berada di samping rumah, bertingkat empat, terdiri dari lima gedung, tiga gedung untuk bangunan pondok pesantren, dan dua gedung lain adalah yayasan sekolah. Keluarga Mangkoe Madha sudah mengurus yayasan ini turun-temurun. Sepertinya, aku sendiri tak ada minat melanjutkan warisan keluarga ini. Biarkan Ozlem saja.

Mungkin Baba juga memiliki pemikiran yang sama denganku dulu, tapi sayangnya Baba tak punya pilihan karena jadi anak tunggal. Sesekali aku membenarkan poniku dengan jari agar menutupi mataku yang sembap akibat tidur lama di pesawat, sembari menata posisi maskerku yang terasa tidak tepat. Wajahku sudah berantakan setelah perjalanan melelahkan tadi. Melihat Ozlem yang melas terus saja menggendong kotak besi berisi kucingnya sejak kami tiba di bandara dengan mimik muka yang juga sama lelahnya sepertiku karena tertidur di kursi pesawat, membuatku tak ingin lama-lama memandanginya. Aku hanya ingin segera merebahkan tubuh ke atas kasur.

"Let me take your bag, Madam (Biarkan saya yang bawa tasnya, Nyonya)," ucap seorang santri lelaki muda, abdi ndalem lain yang menghampiri Anne.

"Monggo Kang, kulo njjih saget boso jowo kok (Silahkan Mas, saya juga bisa bahasa jawa kok)." Anne tersenyum karena mendengar bahasa Inggris yang tidak terlalu fasih itu.

"Niki Ilyasah. Nembe mawon ten mriki. Maklum Ning, baru pertama liat bule, logat sok enggresnya metu (Ini Ilyasah. Masih baru di sini. Maklum baru pertama liat bule, bahasa sok inggrisnya keluar)."

"Kang Hasan njjih meneng mawon, mboten sanjang ke Ilyas, kulo paham boso jowo. Ten Turki njjih pake boso turki kang, mboten boso inggris. Kang Ilyas saget manggil kulo ning, ampun bu nyai mangke ketingal sepuh (Kang Hasan juga diam saja, tidak bilang ke Ilyas, saya juga paham bahasa jawa, di Turki juga pakainya bahasa Turki bukan bahasa Inggris. Kang Ilyas bisa panggil saya ning, jangan bu nyai nanti kelihatan tua)."

"Injjih Ning (Iya Ning)." Ilyas pun berlalu sambil membawa koper-koper kami.

Dia Ilyasah, salah abdi ndalem muda keluarga kami. Dia seumuran denganku. Kami bahkan akan sekelas, ini kelihatan menarik, karena ada cerita yang akan kumulai bersamanya.

***

Kondisiku jauh lebih baik setelah merebahkan tubuh beberapa jam di atas kasur. Makan malam tiba, Anne menjemputku ke kamar, membawakan sehelai kain persis seperti yang Anne kenakan. Itu kain hijab. Anne tampak sangat cantik memakainya. Selama di Turki, Aku tidak pernah melihat Anne memakai hijab. Mungkin karena di sana, Anne tak perlu menjaga image-nya sebagai istri seorang Gus (sebutan untuk putra kyai: Jawa) di pondok ini. Baba juga tak pernah memaksa Anne untuk memakai hijab, Baba membebaskan apa yang jadi pilihan Anne. Sejujurnya, Anne memang sadar sewajibannya sebagai muslimah, tapi alasan pekerjaan membuatnya sulit untuk mengenakan hijab setiap saat.

𝐇𝐢𝐬 𝐅𝐨𝐫𝐭𝐮𝐧𝐚𝐭𝐞 𝐅𝐚𝐧𝐠𝐢𝐫𝐥 ✔Where stories live. Discover now