5

8.4K 431 163
                                    

"Andai kamu tau kepergianmu membuatku rapuh, lantas mengapa kamu tetap pergi meninggalkan aku?"

Arkan Delvan Adhitama

.
.
.
.

“Ar, udahlah balik! Ngapain sih disini!” Suara dentuman musik begitu keras mengharuskan Rey berteriak agar Arkan bisa mendengar suaranya. Tapi nyatanya Arkan tak menghiraukan ucapan sahabatnya itu.

Evan mendekat, mengguncang bahu Arkan kuat berharap sahabatnya itu sadar meski sebentar. “Ar, sadar! Gak seharusnya lo dateng ke tempat ini lagi!” lagi – lagi Arkan tak menghiraukan.

“Bacot lo semua!”

“Kalo tau bakal gini akhirnya, gue lebih milih mati hahaaaa.” Racaunya. Efek alkohol yang sedari tadi Arkan minum, membuat kesadarnya menghilang.

Ini adalah kali kedua Arkan mabuk parah. Arkan bukan tipikal orang yang selalu melampiaskan semua masalahnya dengan alkohol. Sebelumnya Arkan pernah mabuk berat ketika gadis yang dia sayang pergi meninggalkannya untuk selamanya.

BUGGGG!!

Satu pukulan keras mendarat tepat pada muka Arkan, membuat sudut bibir dan hidungnya mengeluarkan darah segar. Ke empat sahabatnya yang lain memandang Raka tak percaya. “SADAR GOBLOK!” Raka tak tahan akan jalan pikir sahabatnya itu.

Tangannya masih setia mencengkram kerah baju Arkan sekarang. Dengan Tatapan tajam, Raka mati – matian menahan emosi agar tak menghabisi sahabatnya itu di tempat memjijikan ini.

“Udah, Rak. Situasinya beda sekarang! Tahan emosi lo!” Kata Raja menarik Raka agar mau melepaskan tangannya pada kerah baju Arkan.

Arkan tertawa layaknya manusia yang tak memiliki harapan untuk bahagia. Terselip rasa kesedihan pada tawanya itu. “Laa! gue kangen! Gue kangen Kayla!” Sudut matanya mengeluarkan air mata. Untuk kesekian kalinya para sahabatnya melihat sosok Arkan yang rapuh. Bukan Arkan yang dingin dengan tatapan tajamnya. Bukan Arkan yang selalu ditakuti musuh.

“Gue keluar siapin mobil sama Raka, lo semua tetep disini jagain Arkan. Takut perjakanya diambil cabe –caben!” Teriak Ken memberi perintah kepada para sahabatnya yang lain. Sungguh, jika saja suara musik laknat ini tidak menggema keras seisi ruangan. Mereka tak perlu berteriak hanya untuk beerbicara.

“Otaknya Ken emang gak ada benernya! Masih aja becanda!”

“Gak usah mikirin otaknya Ken! Pikirin noh otak lo sendiri!”

“Biasa aja dong lo! Gk usah teriak – teriak!” lanjut Raja memandang Rey sinis.

Evan menatap tak percara tingkah semua sahabatnya itu. Tatapannya kini beralih ke pada Arkan yang kini terdiam menyandarkan wajahnya pada meja bar.

“Jadi sekarang gimana?” tanya Rey.

“Kita tunggu Ken sama Raka lah.” Kata Evan. Tatapan matanya memandang Rey kemudian beralih lagi kepada Arkan.

“Ngeri anjir, pengin kencing nih gue!” Raja mengguncang lengan Evan.

Sudah tak bisa ditahan, Raja akhirnya menyeret Evan untuk mengantarnya pergi ke toilet. Tersisa Rey yang kini masih menemani Arkan di meja bar. Rey tengah menghubungi Ken, sekalian menunggu Raja dan Evan keluar dari toilet.

Tanpa Rey sadari, sepasang mata sedari tadi memandang Arkan senang. Langkahnya mendekat menuju ke arah mereka, tepatnya Arkan. Wanita berbadan seksi itu kini tengah menarik kursi dan mengaturnya agar bisa duduk disamping Arkan. Suara musik masih menggema sama kerasnya seperti awal mereka memasuki club ini, membuat Rey tak menyadari sosok lain bergabung ke meja mereka berada.

KILLARKANWo Geschichten leben. Entdecke jetzt