32.

1K 87 7
                                    

Hari Sabtu.

Sabtu keempat di bulan Oktober. Sabtu yang sudah ditunggu-tunggu semua orang yang memiliki kesibukan pada lima hari sebelumnya. Sabtu yang akan dijadikan waktu untuk melepas kepenatan setelah sekian hari berkutat dengan urusan masing-masing.

Sabtu ini tentu juga sudah ditunggu oleh Gi. Bukan, bukan karena ia akan bersantai di akhir pekan. Bukan juga karena waktu luang yang panjang yang ia bisa pakai untuk sekedar mencuci mata di pusat perbelanjaan. Sabtu ini akan berbeda karena Gi akan melakukan suatu hal yang berarti untuk dirinya, mungkin juga untuk orang lain. Dalam kasus ini, orang itu adalah Harry.

Sudah sekitar setengah jam sejak Harry menelepon Gi. Memang akhir-akhir ini Gi jadi sering dihubungi oleh Harry. Gi menyadarinya dan menyukai fakta tersebut. Setiap ada hal yang berhubungan dengan Harry seperti ada sinyal yang langsung memicu dirinya untuk tersenyum tanpa sadar. Contohnya adalah hari ini. Harry bilang sudah berada di perjalanan menuju flat Gi.

Hati Gi bukan hanya senang, namun ada perasaan takut di dalamnya. Takut karena ia akan menyampaikan sesuatu yang begitu penting dan Harry tidak menyukainya. Khawatir mungkin adalah kata yang lebih tepat. Bagaimana kalau Gi sudah mengatakan hal yang sedari tadi memenuhi pikirannya tapi Harry malah kecewa mendengarnya?

Ketukan pintu terdengar menggema di flat Gi. Gi melesat ke pintu depan dan menghela napas lalu membuka pintu kayu di depannya.

"Selamat pagi." sambut sebuah suara. Suara yang sudah dinantikan Gi dari kemarin. Suara yang selalu menemaninya sampai ia terlelap setiap malam.

"Selamat pagi, Harry. Kenapa kau lama sekali?" keluh Gi yang mundur mempersilahkan Harry masuk ke flatnya.

"Maaf, aku tadi ada urusan sebentar." gumam Harry sambil melangkah masuk. Pandangannya menyapu setiap sudut flat Gi. "Kenapa berantakan seperti ini?"

Gi memutar kedua bola matanya dan mendesah. "Aku kan sudah bilang kalau akan membereskan kamar untuk adikku. Kau tidak lupa kan?"

Lesung pipi Harry muncul dari wajahnya yang terlihat begitu ceria dan Harry menyibakkan rambutnya. "Oh, ya, aku lupa. Apa ada yang bisa aku bantu?"

"Mungkin kau bisa membantuku memindahkan beberapa dus ini ke dekat dapur?" Gi menunjuk kardus yang berada di dekat kakinya dan kedua alisnya sudah naik turun.

"Dasar perempuan. Memindahkan seperti ini saja masa kau tidak bisa?" ejek Harry yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

Gi mendorong lengan Harry dengan kesal. "Ya sudah kalau tidak mau bantu, aku bisa melakukannya sendiri."

"Ya sudah, lakukan saja sendiri." Kemudian Harry malah duduk di sofa dan menyalakan televisi di hadapannya sementara Gi mendelikkan matanya dan mendengus kesal melihat tingkah Harry.

Gi memutuskan untuk mendorong kardus-kardus berisi buku dan barang bekas miliknya itu, bukan mengangkatnya. Dalam hati Gi menyesal karena meminta Harry membantunya dan ujungnya malah dia saja yang bercucuran keringat sementara Harry berleha-leha di atas sofa.

"Kalau kau melakukan seperti itu, yang ada kardusnya akan sobek." celetuk Harry mengintip dari sofa. Ia berdiri dan menghampiri Gi lalu mengangkat kardus. "Kau mau diam saja atau membantuku?"

Gi terkesiap dan langsung meraih sisi yang lain dari kardus itu. Mereka berdua membawa kardus berat tersebut ke ruangan kecil di dekat dapur Gi yang digunakan sebagai gudang.

Tatapan mata Gi teralih ke mata Harry yang daritadi memandangi wajahnya. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"

"Tidak apa," jawab Harry. "Masih banyak yang harus dibereskan?"

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang