45.

779 70 15
                                    

Hari Kamis.

Sudah dua hari ini Gi memutuskan untuk tidak keluar kamarnya kecuali hanya untuk mandi. Pagi ini ia berniat ijin lagi untuk tidak masuk kerja. Semenjak gosip tersebut beredar, Gi semakin malas untuk datang ke tempat kerjanya. Apalagi semakin banyak orang tak dikenal datang mencarinya sambil marah gara-gara gosip tersebut. Setidaknya, itulah yang dikatakan Katie padanya.

Ia memilih tidak masuk karena takut akan datang lagi orang yang mencarinya. Katie bilang ia mampu mengatasinya dan menyarankan untuk tidak masuk saja hanya untuk berjaga-jaga. Untungnya, ada Katie. Perubahannya benar-benar sangat membantu Gi.

Harry dan Liam jelas sudah tahu gosip itu. Pasti kolom mention milik mereka juga dipenuhi hal-hal seputar berita itu. Ponsel Gi sejak terakhir kali ia pulang dari perpustakaan juga berdering terus menerus, sampai hari ini. Gi menjawab satu dari puluhan telepon Harry, mungkin kemarin pagi dan tangisnya malah pecah saat bicara dengan Harry.

Harry memintanya untuk mengacuhkan semua twit yang masuk ke akun Gi atau bahkan yang tidak masuk. Saat Harry berkata demikian, Gi hanya bisa terisak dan mengatakan bahwa dia memang tidak bisa jadi orang yang pantas menjadi kekasih Harry. Tapi, Harry menyangkal dan mengatakan bahwa ia segera kembali ke London.

Sekarang, pria itu sudah berada di luar kamarnya menunggu gadisnya membukakan pintu, ia baru datang tadi pagi sebenarnya. Sementara Gi masih belum siap untuk bertemu Harry dan mendengarkan nasihatnya. Ia memang membutuhkan Harry tapi entah kenapa ia belum siap saja terlihat begitu lemah dan membuat semua usaha Harry agar dia mengacuhkan komentar orang menjadi sia-sia.

Tok, tok, tok.

"Gi..." panggil sebuah suara dari balik pintu. Yang jelas bukan suara Harry, karena ini suara perempuan. Suara Tia tetap membuat Gi tidak bergerak di atas ranjangnya. "Sampai kapan mau di kamar terus?"

Kemudian ada suara Harry mengikuti di belakangnya, "Sudah hampir jam makan siang, setidaknya keluarlah untuk sarapan." Suaranya terdengar khawatir tapi masih ada kelembutan di dalamnya.

Gi kemudian mengubah posisinya. Ia bangun dan duduk bersandar di dinding kamarnya, mempertimbangkan keinginannya untuk melihat wajah Harry saat itu juga atau bersikeras berdiam diri di dalam kamar dan menghabiskan buku yang sedang ia baca. Ia butuh waktu untuk lupa dengan segala hal yang berhubungan dengan One Direction, baik Harry sendiri, maupun penggemarnya.

Gadis itu berjalan membuka kunci pintu dan kembali ke tempat tidurnya dan duduk di pinggir tempat tidur. Matanya menunggu seseorang muncul dari balik pintu. Untungnya, memang orang yang diharapkannya.

"Boleh aku masuk?" tanya Harry pelan. Ia menyapukan pandangannya ke sekitar. Ruangan itu gelap seperti yang diduganya, hanya ada satu sumber cahaya yang berasal dari lampu tidur di samping ranjang Gi.

Gi mengangguk dan Harry berjalan ke arahnya lalu ikut duduk di sebelah Gi. Wangi tubuh Harry yang khas membuat Gi lebih tenang daripada sebelumnya. Mendapatinya duduk di samping seperti ini membuat Gi tidak menyesal karena sudah membukakan pintu untuk Harry.

"Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" tanya Harry.

Gi menoleh ke arah pria berambut sewarna dengan rambutnya itu. Kemudian ia kembali menatap lurus dinding yang cukup jauh darinya dan mengangkat bahunya. "Tidak tahu."

Tangan Gi terasa lebih hangat dan membuat Gi mengerjap sebentar lalu melirik ke tangannya. Pantas saja, Harry sudah menggenggam tangannya. Pantas saja rasanya jadi lebih baik.

"Kau tahu kau jauh, jauh, jauh lebih baik dari apapun yang sekarang hinggap di kepalamu," kata Harry dan Gi hanya mengernyitkan dahinya bingung. "Aku tahu kau pasti merasa tidak cocok bersama denganku kan?"

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now