57.

493 55 22
                                    

Tia membuka pintu kamar Gi sedikit.

Kakaknya meringkuk di dalam selimut tebal di atas kasur. Matanya terpejam dan tampak begitu pulas. Sejak tadi pagi, Gi menghabiskan waktu di kamar. Katanya kemarin di Mullingar ia kurang tidur dan perlu jam tidur tambahan. Hawa kota London semakin mendukung keinginan Gi untuk merebahkan dirinya dan melupakan kehidupannya sejenak.

Hari ini Tia tidak ada jadwal kelas tari seperti biasa. Mumpung hari ini kosong, ia berniat untuk menjalankan rencananya yang sudah ia persiapkan. Apalagi, Gi masih tenggelam di alam mimpinya. Kesempatan bagus untuk Tia. Kakaknya tidak akan merecokinya, tahu saja tidak ke mana ia akan pergi.

Tia segera mengganti pakaian tidurnya dengan baju lengan panjang tebal dan melapisinya dengan jaket. Celananya pun dipilih yang hangat. Maklum, suhu kota London terkadang suka kurang ajar akhir-akhir ini. Hujan juga sering datang tak diundang. Membuat Tia harus melapisi tubuhnya dengan pakaian tebal.

Setelah menggunakan sepatu botnya, Tia meninggalkan satu memo di pintu kulkas. Tertulis di sana kalau Tia akan pergi bersama Niall. Pesan itu ditujukan untuk Gi, kalau-kalau ia kebingungan mencari Tia ke mana. Tapi pasti hal itu akan terjadi, Tia sudah memperhitungkannya.

Tia keluar dari flatnya sambil menjaga suara kakinya. Ia tidak boleh membangunkan Gi dan membuat kakaknya itu bertanya-tanya akan kepergiannya. Tia berjalan menuruni anak tangga gedung flat dan segera pergi ke arah stasiun kereta bawah tanah terdekat.

Ia mengeluarkan ponselnya dan membaca sebuah teks yang ia simpan di aplikasi catatan. Sebuah alamat yang ia tidak pernah datangi sebelumnya. Semoga saja ia tidak nyasar. Ia belum terlalu akrab dengan London, begitu pula dengan jalur kereta bawah tanahnya yang rumit. Semalaman ia menghafalkan rutenya hari ini yang diajarkan oleh teman sekelas tarinya.

Seharusnya Niall mengantarkan Tia hari ini. Tapi, mendadak Niall membatalkannya. Katanya ada undangan acara musik. Itulah sebabnya Tia menghafalkan rute kereta bawah tanah itu semalaman. Dalam perjalanan ia menggerutu dalam hati. Kalau saja Niall memberitahu lebih awal, pasti ia tidak perlu semalaman kelimpungan menghafalkan jalan.

Untung, ponsel Tia membantunya. Di peta dituliskan kalau Tia harus berpindah kereta sebanyak dua kali. Teman Tia yang memberitahu jalur kereta juga sudah terbukti benar, tidak menipu Tia. Ia sudah mengeceknya di peta yang terdapat di ponselnya. 

Tia berdoa sepanjang perjalanan. Bukan hanya berdoa agar tidak nyasar, tapi berdoa supaya rencananya berjalan dengan mulus. Ini harus dilakukan dengan penuh keyakinan atau hasilnya akan nol besar.

Sesampainya di stasiun kereta terakhir, Tia bergegas menaiki tangga yang akan membawanya ke jalan besar. Ia menyusuri jalan raya yang besar dan mengamati setiap papan nama jalan yang ada di sekitarnya. Akhirnya, ia sampai. Sudah terlihat nama jalan yang ia tuju.

Gedung-gedung berwarna merah bata berada di sepanjang sisi jalan. Semuanya saling berhadapan. Tidak ada pertokoan di sana karena memang ini adalah daerah perumahan. Tapi tidak ada perumahan, hanya ada gedung-gedung flat di sana.

Setiap angka yang tertempel di dinding gedung-gedung itu diperhatikan Tia. Dua belas... Empat belas... Ah, akhirnya ada nomor enam belas.

Tia masuk ke dalam gedung itu dan melangkahkan kakinya ke lantai dua. Hanya ada beberapa pintu di sana. Memang, gedungnya tidak semegah gedung-gedung di tengah kota London. Hanya tersedia beberapa flat di lantai dua. Tia mengetuk pintu dengan angka 2 tertera sejajar dengan mata Tia.

Tia mengetuk sekali lagi dan terdengar suara orang berjalan mendekat. Pintu pun terbuka dan ekspresi terkejut terlihat dari orang yang membuka pintu.

"Selamat pagi, Mike."

Tia menyunggingkan senyumnya namun Mike masih terlihat kaget dengan siapa yang berdiri di depannya. Mike kemudian tersenyum kaku dan mempersilahkan Tia untuk masuk.

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang