53.

553 71 17
                                    

Sebentar lagi mendekati pergantian tahun baru.

Sudah memasuki minggu terakhir pada bulan Desember. Lebih tepatnya sekarang sudah tanggal dua puluh sembilan, dua hari menjelang malam pergantian tahun. Biasanya, Gi sudah bersemangat menyiapkan segala hal untuk menyambut tahun baru, tapi kali ini tidak.

Walaupun beberapa hari ini ia terlihat agak baikan, sebenarnya ia belum sesempurna yang dulu. Menghabiskan waktu dengan Niall dan Tia memang membuat Gi sedikit lupa dengan hubungannya dengan Harry, tapi setiap malam ada banyak hal yang mondar-mandir di dalam kepalanya. Sulit untuk tidak memejamkan mata tanpa memikirkan pria berambut keriting itu, semuanya begitu berarti rasanya.

Kelihatannya Harry sudah tahu kalau Gi butuh waktu. Ia sudah tidak lagi menghubungi Gi beberapa hari ini. Sejujurnya, Gi rindu sekali dengan Harry tapi ada banyak rasa khawatir di benaknya. Khawatir akan disakiti lagi, khawatir akan respon Harry yang mungkin tidak sesuai perkiraannya, khawatir kalau Harry akan menghubungi Kendall lagi, dan lainnya.

Perkiraan Gi memang benar soal Kendall yang akan memberikan keterangan kepada awak media. Terakhir kali Gi membuka media sosial, judul utama di setiap berita dunia hiburan pasti tentang perempuan itu. Katanya, Harry dan Kendall memang sudah bertemu lagi dan sering menghabiskan waktu bersama saat ini dan Harry bilang dia sudah tidak pernah berhubungan dengan Gi.

Andai saja Gi bisa meminta Harry memprotes pernyataan orang sinting itu.

Sayangnya, Gi masih termakan rasa gengsi dan kecewa dengan Harry. Takut kalau Harry akan menyalahgunakan kepercayaannya lagi, takut akan ada bukti lain yang menyatakan kalau Harry benar sedekat itu dengan Kendall.

"Kalau melamun terus, kau jadi aneh."

Sebuah suara membuyarkan pikiran Gi. Si pemilik suara berasal dari balik punggung Gi dan kemudian duduk di samping Gi yang daritadi terpekur di bangku taman.

"Liam?! Kau tidak bilang kalau kau datang sekarang?" Mata Gi melebar tidak percaya dengan orang yang ada di hadapannya.

Liam terkekeh. "Aku sudah bilang padamu kalau aku akan datang, kau saja yang terlalu larut dalam kesedihan sampai melupakanku begitu."

Gi menyikut sahabatnya. "Jangan sok tahu, aku tidak larut dalam kesedihan. Kau bicara apa sih?" Selama ini memang ini yang dilakukan Gi, berpura-pura bahwa ia baik-baik saja tanpa berhubungan dengan Harry.

"Jangan berlagak seperti aku tidak mengenalmu, Campbell. I know you." Liam menyipitkan matanya memandang Gi tidak setuju.

Gi memutar kedua matanya dan memperhatikan laki-laki itu lagi. Siapa tahu ia hanya berhalusinasi dan sebenarnya Liam tidak pernah ada di sana? Tapi Gi malah fokus melihat dagu Liam yang sudah bersih tanpa ada sedikit rambut menempel di sana. "Kau mencukur jenggotmu? Kukira kau memang ingin memanjangkannya?"

"Ya, aku ingin suasana baru saja sebelum tahun baru. Nona, jangan mencoba mengalihkan pembicaraan. Kita to the point saja." desah Liam.

Bibir Gi mengerucut tapi diabaikan oleh Liam. Ia malah bertanya, "Kau pasti melamun tentang Harry kan?"

"Bukan." sergah Gi cepat.

Liam menaikkan kedua sudut bibirnya ke atas. "Jangan berbohong, memang apa yang kau pikirkan selain Harry?"

Mereka terdiam sejenak. Liam menunggu jawaban yang keluar dari bibir Gi tapi hasilnya nihil. Gadis itu tidak tahu jawaban apa yang tepat atas pertanyaan Liam. "Tuh, kau saja tidak bisa menjawabnya. Berarti tebakanku memang tidak salah kan?"

Gi tidak mendebat lawan bicaranya sehingga Liam meneruskan pembicaraan. "Pasti kau merindukan pria itu. Tidak mungkin kau sudah berhenti merindukannya secepat ini."

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now