10.

1.8K 142 34
                                    

Wanginya bukan wangi laut.

Wanginya berbeda, seperti wangi kayu dan vanili. Gi perlahan menyadari, dada orang ini lebih bidang dibandingkan milik Harry. Ia menjauhkan wajahnya dari dada orang itu lalu mengusap kedua matanya sebelum mendongakan kepalanya.

Liam.

Ia menampakkan senyumnya yang selalu menjadi hal favorit Gi, sementara Gi masih berada dalam keterkejutannya. Matanya membesar dan masih tidak menyangka. Rasanya ia malu dan berharap ia tidak bertindak lancang seperti tadi kepada Liam. Pipinya yang masih dihiasi bekas-bekas air mata pun memerah.

"Tidak apa," kata Liam masih tersenyum. "Kau berhak untuk menangis, Kendall memang keterlaluan karena tingkah menyebalkannya tadi. Kau mau pulang sekarang?"

Gi masih diam mencoba menyusun semua pikirannya yang tadi berantakan. Ia menyibakkan rambut ke belakang telinganya.

"Kurasa memang aku harus pulang." jawab Gi menelan ludah.

"Baik, tunggu di sini, akan kuantarkan kau pulang. Jangan coba-coba masuk lift itu!"

Liam sudah berlalu sebelum Gi dapat mencegahnya. Gi sebenarnya tidak mau diantar-antar seperti ini. Sudah cukup ia dipermalukan oleh Kendall, sekarang ditambah oleh Liam. Spontanitasnya tadi saat menangis di dada Liam adalah hal yang sangat memalukan! Ia pun terdiam di depan lift dan mengutuk lift itu karena lama sekali terbuka. Kalau saja lift itu sudah terbuka daritadi, pasti dia tidak akan terjebak bersama Liam.

Gi pun mengecek ponselnya sambil menunggu Liam di sebuah bangku dekat lift. Ada banyak panggilan yang tak terjawab, begitu pula pesan singkat. Gi yakin semuanya dari Mike. Dan benar saja, saat ia membukanya, semua panggilan dan pesan itu berasal dari Mike.

Tiba-tiba saja Liam sudah muncul, tetapi ada Harry mengikuti di belakang punggungnya. Mata hijau itu saling berpandangan dengan mata coklat Gi. Gi yang salah tingkah, hanya bisa tersenyum ala kadarnya.

"Kau sudah siap?" tanya Liam memecah keheningan.

Gi hanya mengangguk.

"Kalian mau ke mana?" Harry tiba-tiba ikut bertanya.

"Pulang." sahut Gi singkat.

Raut wajah Harry berubah heran. "Dengan Liam? Kenapa tidak bersamaku saja? Kau baru sebentar ada di sini, Gi."

 "Tidak, terima kasih, Harry. Lebih baik kau urusi pacarmu saja." Gi tersenyum masam dan menarik tangan Liam ke arah lift yang kini sudah terbuka.

Tangan Harry kini menggaruk-garuk rambutnya gusar. Tangannya kemudian mengusap dagu. Gi tidak bisa membaca wajahnya. Kesal? Iri? Tapi kenapa?

Liam menekan tombol lantai dasar. Harry masih berada di luar lift saat itu. Gi menatap kedua mata Harry sama seperti yang dilakukan Harry padanya saat itu. Harry memberikan pandangan bingung. Ia masih bergeming di tempatnya mencoba memproses hal yang daritadi ia lihat dan pintu lift kemudian tertutup.

"Tidak apa-apa kau mengantarku?" Gi mencoba mengalihkan pikirannya dari Harry sekarang seiring dengan turunnya lift.

"Tentu. Apa salahnya? Lagipula kau mau naik tube dengan wajah kacau seperti itu?" Liam tertawa kecil. Tawa itu sedikit menghibur Gi yang dari tadi suasana hatinya buruk.

"Yeah, kukira kau ada benarnya juga." kini Gi tersenyum lebar dan memandang cermin yang terpasang di dalam lift.

"Hei, kuharap kau sudah melupakan kejadian tadi. Maaf aku mengungkitnya lagi, aku hanya khawatir." tukas Liam.

"Aku juga mengharapkan hal yang sama. Hanya saja, aku belum pernah direndahkan seperti itu." jelas Gi.

"Tapi sekarang kau merasa lebih baik kan?" tanya Liam saat pintu lift terbuka. Mereka turun di lantai dasar dan langsung berjalan menuju pintu depan Modest!.

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now