12.

4.5K 131 9
                                    

Tok, tok.

Seseorang di luar mengetuk pintu kamar Gi. Gi mengerang malas dan hanya memutar posisi tubuhnya yang menghadap tembok ke tepi ranjangnya, ia malah merapatkan selimut putihnya.

Tok, tok.

Ketukan itu terdengar lagi. Gi menangkupkan selimutnya ke atas kepalanya. Ia masih mengantuk namun matanya mulai membuka perlahan. Gi mulai berpikir siapa yang mengetuk pintunya, padahal ia selama ini tinggal sendiri. Seketika itu juga, matanya membelalak.

Harry!

Gi segera menyibakkan selimutnya dan beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju depan cermin sambil mencoba merapikan rambut dengan kedua tangannya.

"Gi?" panggil Harry dengan lembut dari balik pintu.

"Ya?" balas Gi setengah berteriak, ia membersihkan kotoran mata yang masih menempel.

"Kau sudah bangun belum?"

Gi memutar matanya. "Menurutmu?"

"Kalau belum bangun, aku akan masuk ke kamarmu." ancam Harry.

Gi terperanjat dan segera merapikan tempat tidurnya cepat-cepat. "Tidak usah! Aku sudah bangun!"

"Ya sudah, cepatlah keluar. Kalau sepuluh detik lagi kau tidak keluar, aku masuk ke kamarmu." suara Harry pun memelan namun masih terdengar nada jahil pada suaranya.

Gi mendengus sebal, ia hanya butuh waktu sebentar untuk merapikan tempat tidurnya dan merapikan diri. Ia tidak bisa langsung cuci muka karena kamar mandi ada di luar kamar tidurnya. Itu berarti ia harus bertemu Harry dulu baru membasuh mukanya yang sangat kucel.

"Sepuluh..." Terdengar Harry mulai menghitung mundur. "Sembilan..."

"HEI! Tunggu sebentar! Aku sebentar lagi selesai!" Gi mengibaskan selimut dan melipatnya dengan rapi.

Saat hitungan mencapai angka tujuh, Gi sudah menutup pintu kamarnya di hadapan Harry.

Harry menyeringai. "Kau tidak membolehkanku masuk dengan alasan yang sama?"

Gi berdecak kesal dan tidak menjawab. Kemudian ia mencium bau sedap dari dapurnya. Karena sudah terbiasa memasak, ia tahu aroma apa ini. Ini wangi roti panggang dan saat itu Gi menghirup napas lagi untuk menganalisa aroma yang lain. Ia mencium aroma telur dadar.

"Kau memasak untukku?" tanya Gi memicingkan matanya pada Harry.

Harry tersenyum lebar dan malah berjalan ke arah dapur, Gi pun mengikuti laki-laki yang masih mengenakan kaos dan celana panjangnya tadi malam. Dalam hati, Gi bertanya-tanya, apakah Harry tadi malam tidur dengan nyenyak?

"Aku ingin berterima kasih padamu, jadi kubuatkan sarapan untukmu." gumam Harry sambil menaruh piring berisi roti panggang dan telur dadar itu di meja makan.

"Untuk apa?" tanya Gi polos lalu duduk di kursi meja makan.

"Karena sudah mengijinkanku menginap di sini dan mengantarkanku tidur. Kau ikhlas, kan?" Harry menggigit roti panggang miliknya.

Gi termenung sebentar mendengar kalimat Harry. Ia tidak tahu Harry orang yang senang membalas kebaikan seseorang terhadapnya. Sekali lagi, ia membandingkan Harry dengan Mike dan sekali lagi pula, Harry mengungguli Mike, sama seperti saat genggaman tangan Harry mengungguli rasa nyaman yang diberikan Mike. Padahal, itu hanya sebuah genggaman tangan.

"Tentu saja, Harry. Aku bukan orang yang seburuk itu," sahut Gi sambil mengiris telur dadarnya dan menyuapkan untuk dirinya. "Lumayan."

"Kau bilang lumayan?" mata Harry melebar menatap Gi.

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now