58.

519 50 23
                                    

Semenjak Gi datang ke London, ia dibuat penasaran oleh tingkah laku adiknya. 

Dua hari belakangan ini, Tia seolah menyembunyikan sesuatu dari Gi. Setiap Gi melihatnya sedang bicara di telepon, Tia pasti akan cepat-cepat pergi, tidak ingin didengar oleh Gi. Awalnya, Gi memang tidak peduli. Tapi karena hal itu berulang kali terjadi, rasa ingin tahu Gi pun akhirnya tidak tertahankan.

Seperti sekarang, Gi mendapati adiknya itu berbisik-bisik pada ponselnya. Padahal mereka sedang menonton televisi berdua, setidaknya Tia bisa kan pindah ke kamarnya dan menelepon sepuas-puasnya. Daripada berbisik seperti itu, rasanya tidak sopan saja. Membuat Gi tambah penasaran.

Akhirnya Tia mengakhiri percakapannya. Gi menatap adiknya lama sekali dan akhirnya yang ditatap pun sadar.

"Kenapa?" Alis Tia terangkat sambil memasukkan ponselnya ke saku celana.

Gi memicingkan matanya. "Kau habis menelepon siapa? Kok bisik-bisik?"

Tia mendesah. "Bukan siapa-siapa."

"Yakin?" tanya Gi lagi. Tia berbeda dengan Gi. Ia masih bisa berbohong, tidak seperti Gi yang tidak pernah lihai berbohong. Tia harus didesak terus menerus agar bisa berkata jujur.

Tia malah memutar matanya. "Kau tidak kenal dengan orang yang kutelpon."

"Kalau tidak kenal kenapa akhir-akhir ini kau seperti menghindariku setiap kali menerima telepon?" Gi mengerutkan alisnya dengan curiga.

"Kalau kau mau tahu, kau harus menjawab beberapa pertanyaan dariku." Tia memberikan tawaran yang membuat Gi semakin bingung. Ia bertanya-tanya apakah ini ada sangkut pautnya dengan dirinya. Menghindar dan tawaran aneh ini semakin membuatnya curiga.

"Oke."

"Kau sekarang dekat lagi dengan Mike?"

Pasti Tia bertanya itu gara-gara ia mendengar Gi menelepon Mike semalaman. Kalau saja Tia tahu GI membicarakan dirinya, pasti ia memaklumi. Tia juga sih yang membuat ulah dengan datang tiba-tiba ke flat Mike. Menatap adiknya lagi, akhirnya Gi mengangguk.

"Dekat hanya sebagai teman atau sudah melebihi teman?"

Gi diam. Ia biasanya jujur pada adiknya karena adiknya termasuk pendengar yang paling baik. Tapi, Tia tidak setuju kalau tahu Gi dekat dengan Mike lagi. Gi kembali merasa nyaman dengan adanya Mike. Mike seperti Mike yang pertama kali dikenal Gi. Yang tahu bagaimana cara menghadapi Gi.

"Gi?" kata Tia lagi. "Kau sudah lebih dari teman ya dengannya?"

Tia mendekatkan wajahnya ke Gi lalu menatap matanya dalam-dalam. Memeriksa apakah Gi berusaha bohong atau tidak. "Ya ampun, kau pasti suka lagi pada Mike." Tia menepuk dahinya sambil menghela napas panjang.

"Aku hanya berteman kok." tukas Gi. Walaupun sebenarnya Gi berharap ditemani Mike lagi meski tanpa hubungan resmi seperti dulu. Ia butuh teman yang siap sedia dua puluh empat jam untuknya.

Tia menatap kakaknya lalu menggeleng-geleng. "Kau sudah kuperingatkan, Gi. Kau tahu aku punya firasat buruk padanya."

Gi mengernyitkan dahinya. "Jadi itu sebabnya kau datang ke flat Mike tiba-tiba?"

Tia terkesiap. Ia tidak tahu kalau Mike menceritakannya pada Gi karena Gi belum pernah membahasnya sampai yang barusan. Ia kira Mike memang tidak cerita. "Mike bilang begitu?"

"Memangnya apa yang kau lakukan di sana?" Gi tidak mempedulikan pertanyaan Tia. Ia malah balik kesal dengan adiknya.

"Mencari tahu maksud di balik pendekatannya padamu. Kau memang tidak merasa ada hal aneh?"

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now