63.

438 62 5
                                    

"Halo?"

"Halo, Mama?"

"Iya, ada apa, Gi?"

Gi tersenyum mendengar suara ibunya di ujung telepon. Sejak Gi kembali lagi ke London, ia belum sempat bertukar kabar dengan ibunya. Ia belum mau bercerita tentang semua hal menyangkut Mike walaupun Gi tahu pasti ibunya sudah mendengar semua dari Tia.

"Tidak apa-apa, Ma."

"Kangen ya?" Ibu Gi menebak dengan ringan.

Gi terkekeh. "Iya, kangen. Mama kangen juga? Bagaimana di Mullingar sana?"

"Syukurlah kalau kau masih kangen. Di sini semua baik-baik saja, Mama tidak pernah merasa sebaik ini bahkan." jawab Ibu Gi antusias.

Gi bersyukur dalam hati, tapi ia masih merasa tidak enak dengan ayahnya. Ayahnya sangat mendukung hubungan Gi dan Mike dan Gi tidak tahu apakah ayahnya sudah mengetahui kalau ia berhubungan dengan Harry lagi.

"Ayah baik-baik saja, kan?"

Ibu Gi diam sejenak dan menjawab, "Baik-baik saja. Dia sudah tahu kalau kau kembali dengan Harry lagi dari Tia. Tia sudah menceritakan semuanya. Ayah hanya diam saja, mungkin dia butuh waktu."

"Yang benar, Ma? Berarti aku harus mendapatkan ijinnya lagi dengan Harry?" Gi memberengut.

"Tenang saja, ayahmu hanya khawatir kau sakit hati. Bukannya itu yang biasanya dikhawatirkan semua ayah di dunia ini pada anak gadisnya? Tidak ada kan ayah yang mau melihat anaknya menangis?"

"Iya sih, tapi Gi belum bilang secara langsung jadi Gi belum merasa lega." tukas Gi. Di benaknya, Gi menggerutu. Ini sama saja seperti mengulang pengalamannya saat dulu Harry belum diperbolehkan dekat dengan Gi.

"Yang kau perlu khawatirkan sekarang bukan itu. Tapi dirimu sendiri. Jangan sampai terulang lagi kejadian seperti itu." tambah Ibu Gi lembut.

"Iya, Ma. Aku mengerti. Mama mau bantu bicara dengan Ayah?"

"Boleh saja, itu urusan gampang." Gi bisa membayangkan ibunya tersenyum di rumah sambil bicara di telepon.

"Terima kasih, Ma. Gi beruntung punya Mama." Gi bukan bicara hanya karena ibunya mau membantu, tapi ia memang benar-benar merasa beruntung memiliki ibu yang sangat mendukungnya.

Ibu Gi mendesah. "Iya beruntung bisa punya pacar seperti Harry. Banyak penggemarnya di seluruh dunia, kurang beruntung apa?"

Wajah Gi bersemu merah. Untung saja ibunya tidak ada di sini, bisa-bisa ia diejek kalau ibunya melihat wajahnya sekarang. "Mama iri ya?"

"Ya jelas, sayang. Siapa yang tidak iri? Kau itu beruntung sekali, punya ibu seperti Mama, punya pacar seperti Harry."

Gi tergelak. "Iya, iya, Gi beruntung."

"Mama serius, Gi. Jangan disia-siakan orang baik seperti Harry. Banyak laki-laki yang memang bisa membuat perempuan senang, tapi belum tentu mereka semua bisa bertahan sekuat Harry. Dia masih ngotot ingin bersamamu kan? Itu baru namanya laki-laki." jelas Ibu Gi panjang lebar.

Gi mengulas senyum lebar. Ia tahu ibunya benar. Ia merasa semua hal yang diutarakan ibunya tidak pernah ada yang salah. Semua nasihatnya memang benar dan tujuannya baik juga untuk hidup Gi.

"Iya, terima kasih lagi ya, Ma."

"Terima kasih sudah mengenalkan Mama pada selebritis kelas dunia." balas Ibu Gi bersemangat. Rasanya Gi ingin berada di samping ibunya sekarang. Wanita itu kalau sedang senang bisa cerewet sekali tapi selalu membawa suasana yang menyenangkan.

"Sama-sama," kata Gi. "Ma, Gi boleh minta tolong lagi?"

"Minta tolong apa? Pasti boleh untuk Gi."

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now