46.

797 74 4
                                    

Hari itu adalah salah satu hari yang dimasukkan ke dalam catatan ‘hari yang tidak akan dilupakan’ oleh Gi. Angin yang berhembus terlalu mendukung suasana di sekitarnya. Dingin dan suram. Sepatu Gi masih menempel dengan rumput yang berada di area pemakaman. Di dalam rangkulan tangan Harry, Gi menghangatkan tubuhnya, melindungi diri dari rasa dingin yang menusuk.

Liam terlihat menakjubkan dengan setelan jas yang ia kenakan, sayangnya penyebab kenapa Gi dan yang lain berada di sinilah yang membuat Liam tidak terlalu baik. Wajahnya masih tertunduk lesu ke arah peti kayu yang akan membawa ibunya meninggalkan Liam untuk selamanya.

Perlahan-lahan peti itu dibawa turun dan lebih dalam lagi ke galian tanah. Semakin nyaring pula isakan tangis dari para hadirin saat itu, terutama dari kakak-kakak Liam. Gi sudah tidak menangis lagi, ia sudah mulai merelakan kepergian ibu Liam walaupun ia baru saja berkenalan dengan wanita yang menjadi idola sahabatnya itu.

Satu per satu orang yang datang kini beranjak dari tempat mereka. Kembali ke kendaraan mereka masing-masing. Kecuali, tentu saja, Liam dan keluarganya.

“Aku pikir, aku dan Niall akan pergi lebih dulu.” Tia menghampiri Gi bersama Niall. Mereka memang datang bersama ke sana.

“Aku akan pulang dengan Harry, aku masih ingin bicara pada Liam.”

Tia mengangguk pada Gi dan berpamitan padanya dan Harry. Niall sudah ijin pulang pada Liam dan mereka pun berlalu.

Gi mencoba untuk berjalan lebih dekat dengan Liam. Liam masih mematung di tempatnya, matanya masih memandang tanah yang kini sudah menjadi makam ibunya.

“Ia orang yang mengajariku cara bersikap ikhlas terhadap segala hal yang tidak bisa dipaksakan.” Liam sadar kalau Gi kini berdiri tepat di sampingnya. Tanpa Harry.

Gi tersenyum membayangkan ibu Liam berkata hal seperti itu pada Liam. Ia juga teringat beberapa kali ia sempat mendengar ibu Liam memberikan beberapa pesan kalau ia pergi selamanya dari Liam tapi Liam selalu tidak senang kalau ibunya berandai-andai demikian.

"Ia juga seringkali mengatakan kalau ia sudah ikhlas kalau harus pergi, sayangnya hal tersebut bertolakbelakang dengan apa yang kurasakan." tambah Liam pelan.

Gi menyentuh bahu Liam menatap ke arah pria itu. "Liam..."

Liam hanya tersenyum seadanya. "Bagaimana ia begitu siap pergi?"

"Ini sudah jalan Tuhan, Li. Pasti akan lebih terasa nyaman untuk ibumu berada di atas sana, di sisi Tuhan." kata Gi sambil mengusap-usap bahu Liam.

"Mungkin. Semoga saja benar katamu," ucap Liam lirih. "Kau tidak pulang?"

GI menggeleng. "Kalau kau tidak pulang, aku juga tidak pulang."

Liam mendesah mendengar Gi. "Ya ampun, ini aku sudah mau pulang kok. Jangan terlalu mengkhawatirkanku seperti itu."

Baru saja Gi menyadari kalau keluarga Liam sudah menuju mobil mereka dan bersiap untuk pulang. Hanya tinggal dirinya dan Liam, serta Harry. Ia menengok ke belakang untuk memastikan Harry ada di sana.

Dan Harry masih berdiri di sana. Sibuk dengan ponselnya dan wajahnya sedikit cemberut ke arah ponsel, membuat Gi bertanya-tanya apa yang menyebabkannya begitu.

Harry kemudian menyelipkan ponselnya ke saku dan mendapati Gi yang memperhatikannya. "Sudah?"

Kepala Gi mengangguk. Ia kembali berbicara pada Liam. "Kau mau pulang kan? Kalau begitu jalan bersamaku dan Harry saja."

"Aku bisa sendiri saja kok. Aku tidak perlu ditemani."

"Tapi aku ingin, jangan menolak, lebih baik menurut saja." Gi pun menarik tangan Liam dan membawanya mendekat ke Harry.

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang