Daily 58 Tentang Aku dan Hujan

54 1 0
                                    

"Tapi hujan sepertinya tidak pernah berkhianat. Meski kesejukan itu dan aroma itu hanya sesaat. Kalau hujan membuat aku ataupun kamu nyaman. Kenapa kamu tidak kecewa padahal kamu tahu dia bakalan pergi? Aku bukan hujan yang pantas kamu rindukan."

Minggu, 4 Desember 2016.

Tak seperti biasanya hari itu Kota Cilegon hujan begitu deras setidaknya sampai angin dari hujan itu hampir menerbangkan jemuran di depan kostku yang aku jemur semalam.

Aku merasa ini hal yang aneh karena jika biasanya aku selalu mengeluh dengan cuaca kota Cilegon yang selalu panas panas dan panas setiap hari.

Sementara hujan besar setiap hari tak kunjung henti di tempat orang tuaku di Purwokerto. Aku mendengar begitu jelas suara airnya ketika aku menelpon mereka.

Selama hampir dua tahun aku tinggal di Cilegon aku sama sekali belum pernah membeli payung ataupun jas hujan karena yang terjadi biasanya hujan hanya akan turun sesaat dan rintikannya pun tak kunjung deras.

Padahal hujan menyimpan begitu banyak kenangan di masa kecilku, dari bermain sepakbola sampai menjelang maghrib di lapangan, bermain lumpur di sawah, bermain di sungai, hingga bermain perahu kertas yang telah aku tulis dengan tulisan harapan lalu aku jatuhkan dari jendela kamarku hingga berlalu pergi terbawa arus dan menghilang untuk selamanya sepertihalnya kenangan ini yang tak mungkin terulang lagi meski hal tak berguna itu hanya aku lakukan seorang diri.

Itu yang sering aku lalui kala aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat aku mulai menjalani masa sekolah menengah pertama aku lebih banyak menghabiskan waktu dirumah kala hujan, untuk sekedar bermain Play Station ataupun bermain gitar. Kecuali disaat aku harus berangkat ke lapangan sepakbola di desaku untuk berlatih ataupun bertanding sepak bola antar kampung. Walau badai hujan lebatpun pasti akan aku terjang. Paling-paling yang tersisa dari hari itu hanya omelan ibuku. Tapi aku tak peduli ini akan menjadi kenaganku kelak, lagi pula malamnya aku tak mungkin bolos Madrasah hanya karena alasan hujan, karena sesungguhnya aku menyukai hujan.

Tapi hal berbeda terjadi di putih abu-abu. Ya berbeda namun masih sama tentang hujan.

Hujan menahanku pada ketidakpastian, meninggalkan kenangan kala menunggu seseorang di perkampungan yang mencekam di sela lampu-lampu pedesaan yang padam karena pemadaman.

Hujan yang tak kunjung reda dan tentang seseorang yang kini telah menghilang tanpa jejak. Persahabatan yang hanya angan. Hari-hari lalu yang berlalu tanpa memberi dampak apapun pada jalannya kehidupan, terutama dalam kehidupanku.

Oke kita kembali menuju di waktu sekitar 4 tahun yang lalu. Disaat semuanya masih benar-benar nyata.

Purwokerto, 2013

RAIN, RANI, NIA.

Rani Nia dan Rain atau hujan, kata yang berasal dari huruf yang mungkin bisa saling melengkapi. Nama singkat yang saling behubungan. Tapi tidak untuk hubungan cinta segitiga yang tidak semestinya datang diantara aku, dia dan dia.
Atau lebih tepat mungkin antara aku dan mereka.

Tidak, tidak sama sekali. Aku hanya kamuflase diantara mereka.

Atau mereka yang hanya kamuflase dalam hidupku?

Tapi hujan sepertinya tidak pernah berkhianat. Meski kesejukan itu dan aroma itu hanya sesaat. Kalau hujan membuat aku atau juga kamu nyaman. Kenapa kamu tidak kecewa padahal kamu tahu dia bakalan pergi? Aku bukan hujan yang pantas kamu rindukan.

Saat itu aku baru menjalani kehidupan di pertengahan masa putih abu-abu. Hari berlalu begitu dengan sebegitu membosankannya hingga aku mencoba membuka mata. Membuka mata akan luasnya kehidupan yang ternyata justru sangat sempit hingga sampailah aku pada hubungan rumit diantara mereka. Semua seolah tak pernah beres.

Make A Better Place (Autobiografi Triocahyo Utomo)Where stories live. Discover now