Daily 10 Antara Solo Wonogiri dan Purwokerto

88 1 0
                                    

"Waktu terus berjalan dan aku mulai menyadari bahwasanya banyak hal mulai terjadi tanpa bisa aku cegah. Suasana baru, lingkungan baru. Semua yang berubah ayaupit dengan begitu cepat. Bagiku ini adalah hal yang buruk untuk menjalin pertemanan di masa kecil"

Hari kenaikan kelas menuju kelas 4 telah tiba liburan cukup panjangpun menanti. Kini aku telah mempunyai sahabat-sahabat masa kecil yang baik disini di Kota Purwokerto. Kota Satria yang terkenal dengan makanan nya yang enak-enak. Kota sejuk dengan lokawisata yang indah-indah. Serta penduduknya yang begitu ramah tamah. Tempat yang pas untuk menyandang moto kota SATRIA. Yakni sejahtera, adil, tertib, rapi, indah, aman.

Hari itu semua berjalan seperti biasa. Tetapi tak seperti tahun-tahun sebelumnya setelah penerimaan raport aku cepat-cepat pulang kerumah untuk berkemas karena hari esok aku akan kembali ke tempat dimana aku pernah mengukir cerita di masa lalu yakni Kota Surakarta. Kota dimana aku pertama kali mengerti apa itu perjalanan. Kota yang mengajarkanku tentang sebuah perpisahan.

Waktu terus berjalan dan aku mulai menyadari bahwasanya banyak hal mulai terjadi tanpa bisa aku cegah. Suasana baru, lingkungan baru. Semua yang berubah ayaupit dengan begitu cepat. Bagiku ini adalah hal yang buruk untuk menjalin pertemanan di masa kecil.

Pagi-pagi sekali aku telah duduk di gerbong kereta Logawa di Stasiun Purwokerto. Kalau tidak salah saat itu sekitar pukul 06.00 W.I.B kereta berangkat.

Aku pandangi lingkungan sekitar dan pemandangan yang terhampar dari sisi jendela kereta. Sebelum Tempat-tempat dan orang-orang yang berada di kota itu akhirnya hilang seiring kereta api yang melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan kota Purwokerto.

Kilometer demi kilometer terlampaui. Stasiun demi stasiun terlewati. Hingga sampailah di stasiun Solo Balapan tempatku berhenti.

Segala kenangan tentang Kota Surakarta terngiang kembali. Jembatan gantung, rel kereta jebres, kampus Universitas Sebelas Maret, dan keramaian suasana malam kota Solo.

Aku melewati kenangan demi kenangan itu kembali selama aku berlibur di tempat budhe ku di daerah Pucangsawit, Jebres. Sebelum akhirnya pagi-pagi sekali aku menuju terminal bus Tirtonadi melanjutkan perjalanan ke tempat kakekku di Wonogiri.

Pemandangan indah kota Solo di pagi hari kini berganti menjadi hawa dingin pegunungan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

2 Jam kecepatan standar bus membawaku melesat menuju kabupaten yang sangat kental dengan aroma pegunungan itu.

Terminal Tirtonadi menjadi pembatas cerita tentang perjalanan dari Solo menuju Wonogiri. Jalanan terjal dan jurang membuatku merasakan dan ikut menikmati bahwasannya aku sadari perjalanan ini sangat memacu adrenalin.

Setelah cukup lama aku bosan dengan didalam bus itu. Akhirnya sampailah aku pada sebuah perkampungan bernama Sambirejo yang berada di kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Salah satu kabupaten paling timur yang berada di Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur.

Hari demi hari berlalu namun suasana tetap dingin dan sepi. Tak ada suara anak-anak berlarian gembira bersama, tak ada gemercik aliran sungai, tak ada anak bermain layang-layang sepertihalnya di Purwokerto.

Lagi pula di sini tempatnya tidak ideal untuk menaikan layang-layang. Selain angin yang kecil juga sangat banyak pohon tinggi menjulang.

Sekarang aku mulai mengerti bahwasanya wilayah dan lingkungan itu mempunyai karakteristik yang berbeda. Jika di Solo dengan lingkungan yang begitu padat, mungkin itu wajar jika keramaian adalah kenyataan yang terpampang di kota itu sepanjang hari.

Sementara di Wonogiri yang sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan, menjadikan hawa dingin selalu menyelimuti, seolah memberi kesan sebagai tempat yang selalu sepi. Sebuah dataran tinggi dengan intensitas angin yang kecil sehingga tak ada musim layang-layang disini.

Berbeda dengan Purwokerto dengan letak yang cukup strategis di kaki gunung Slamet yang membuat daerah ini menjadi tempat yang cukup sejuk. Dan juga tak rawan bencana alam.

Meski aku sadari sebenarnya bencana itu datang dimana saja kapanpun dimanapun dan bagaimanapun. Tetapi untuk kota Purwokerto dengan suasana sejuk tidak begitu panas tidak begitu dingin, tidak terlalu rampai dan padat juga tidak terlalu sepi mungkin cukup tepat jika kota Purwokerto menjadikan kota yang begitu nyaman di Pulau Jawa mengalahkan hiruk pikuknya Bandung dan Jakarta, ataupun kesejukan di Wonosobo, Magelang ataupun Malang.
(Dari salah satu sumber tentang orang yang pernah berkunjung ke tempat tersebut)

Lanjut bagian 11

Make A Better Place (Autobiografi Triocahyo Utomo)Where stories live. Discover now