Daily 44 Reuni Perdana

18 1 0
                                    


"Bisa jadi mereka sudah mengintai kami semenjak di kantin tadi. Salah seorang preman menodongkan pisau lipat. Meskipun mungkin hanya gertakan saja tapi aku khawatir ada setan lewat yang memasuki akal pikiran mereka sehingga membahayakan kami."

Beberapa bulan setelah hari dimana aku gagal untuk mengikuti seleksi di Pelita Jaya FC akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di sekolah umum. Dan aku memilih SMK N 2 Purwokerto sebagai tempat untuk melanjutkan kisahku selanjutnya. Salah satu sekolah yang menurutku termasuk favorit di kotaku karena merupakan satu-satunya sekolah menengah kejuruan negeri dengan basic teknik di Purwokerto dengan bangunannya yang begitu megah dan infrastruktur yang memadai.

Dan memang pada akhirnya sekolah inilah yang berperan dalam kisah-kisahku selanjutnya. Meski disini aku mulai mencoba melupakan semua cerita tentang sepakbola dan hal-hal buruk sebelumnya. Disekolah ini aku sama sekali tidak berbaur dengan sepakbola. Tidak mengikuti ekstrakurikuler ataupun seleksi di tim sekolah. Karena selain kondisi yang belum memungkinkan. Memang aku belum disarankan untuk kembali ke sepakbola. Saat itu aku lebih terfokus dalam hal akademik dan juga lebih aktif dalam organisasi sekolah.

Hari-hari disekolah aku lewati dengan membaca, merenung dan banyak menyendiri di perpustakaan sekolah. Aku merasa seperti diriku yang berbeda. Bayangan tentang masa-masa indah dahulu di SMP ketika bermain bola ketika jam istirahat bersama-sama. Bermain sepak takraw hingga di keluarkan dari kelas karena terlambat masuk. Semuanya hanyalah kenangan. Kenangan yang sangat kontras dengan kondisiku yang sekarang. Karena meskipun sama-sama dalam taraf pendidikan. Kehidupan di SMP dan SMK sangatlah berbeda. Ditambah lagi mayoritas siswa yang ada di SMK Teknik adalah laki-laki. Kegaduhan, perkelahian, tawuran itu adalah hal membosankan yang sangat menggangu pikiran. Meskipun mungkin sebagai siswa aku pun tidak lurus-lurus amat. Tetapi untuk hal seperti itu aku sama sekali tidak tertarik.

Terkadang aku justru memikirkan untuk teman-teman lain yang bisa melanjutkan pendidikan di SMA pasti sangat menyenangkan, mungkin situasi lebih tenang, situasi lebih kondusif, dan mungkin banyak yang menikmati waktu sekolah dengan cinlok ataupun pertemanan yang lebih menyenangkan lainnya. Mereka mungkin jauh lebih beruntung pikirku saat itu. Tetapi aku memiliki tujuan lain ketika melanjutkan di Sekolah yang mayoritas laki-laki. Aku ingat ketika SMP dalam nilai akademik aku selalu kalah oleh murid perempuan. Jadi mungkin jika didalam kelas hanya ada murid laki-laki tanpa ada perempuan aku bisa menjadi juara kelas. Tetapi ternyata tetap saja gagal. Di kelasku ada 1 perempuan dan 1 perempuan itulah yang akhirnya menjadi juara 1 di kelasku.

Pada awalnya aku merasa keputusanku melanjutkan ke SMK adalah hal yang salah. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu aku hanya bisa menerima keadaan dan menjalani dengan sebaik mungkin meski sebenarnya hati kecilku telah menolak.

Ketika masih awal-awal SMK sebenarnya hubunganku dengan teman-teman ketika SMP tak sepenuhnya terputus. Ada beberapa diantara temanku yang meskipun melanjutkan ke sekolah yang berbeda namun tetap saling berkomunikasi, diantaranya Ichwan dan Singgih. Dua teman terdekatku ketika kelas 9 dulu.

Aku mengingat lagi tentang sore hari yang pernah terlewati dengan mereka ketika jam tambahan. Rasanya waktu telah berlalu dengan cepat. Sampai tiba pada tanggal 1 Agustus 2011 dimana SMPku berulang tahun dan mengadakan acara yang cukup meriah. Pada saat-saat seperti ini juga banyak dimanfaatkan oleh para alumni untuk bereuni sembari bernostalgia tentang kisah mereka terdahulu di sekolah tersebut. Temasuk juga diriku yang lulus belum lama ini sebagai lulusan terbaru. Itu adalah reuni perdanaku untuk kembali lagi berkumpul dengan teman lamaku di SMP. Meski pada akhirnya ternyata itu adalah reuni pertama dan terakhirku. Karena sebenarnya aku juga tidak begitu tertarik dengan hal seperti ini. Teman-teman lain pasti hanya akan bersama dengan teman yang akrab ketika SMP dulu ataupun mereka juga sudah sibuk dengan dunia baru mereka jadi tak heran jika sebagian besar menjadi terlihat lebih cuek.

Siang itu cuaca cukup sejuk. Aku kembali masuk ke SMP Negeri 4 Purwokerto yang penuh kenangan itu namun bukan sebagai siswa lagi. Kini aku masuk ke sekolah itu dengan seragam putih abu-abu lengkap yang menandakan bahwa cerita telah selesai. Aku sapa beberapa guru yang dulu mengenalku ataupun pernah mengajarku di sekolah. Mereka tersenyum hangat. Rasanya sangat berbeda dengan senyuman yang senantiasa mereka berikan kala mengajarku dulu. Rasanya cukup senang. Aku merasa hari ini begitu membahagiakan. Iya tapi itu hanya awalnya. Sebelum peristiwa itu terjadi.

Yang aku lihat pada acara itu guru-guru tak banyak terlibat. Hanya pengurus-pengurus OSIS yang mondar-mandir kesana kemari. Aku merasa suasana sudah tak sehangat dulu. Terasa begitu membosankan meski aku dapati banyak juga teman seangkatanku yang datang ke sekolah saat itu tetapi tetap saja semua sudah berbeda.

Aku bahkan tidak menuju ke tempat pentas seni. Aku lebih memilih untuk makan siang di kantin lalu ngobrol-ngobrol ringan dengan beberapa temanku yang aku lupa siapa saja saat itu karena cukup banyak sebelum aku bertiga bersama Singgih dan Ichwan berpindah tempat ke depan kelas 7G yang tampak sepi dan kosong.

Disini cuaca begitu sejuk dan tenang. Kami memutuskan ke tempat itu karena kedua temanku itu akan merokok sehingga tidak enak jika ada guru yang melihat meskipun kami bertiga sudah bukan siswa di sekolah ini lagi. Tapi setidaknya kami berusaha menjaga sikap untuk tidak memberi contoh yang tidak baik, sebelum gerombolan preman itu datang dengan membawa senjata tajam.

Aku tak tahu dari mana preman-preman itu datang dan kenapa bisa masuk di sekolah ini?
Bagaimana mereka bisa masuk? Apakah karena begitu ramai dan overloadnya pengunjung sampai security bisa kecolongan?

Mereka membawa kami ke arah toilet ujung kelas 7H yang pernah aku ceritakan ketika persami dulu. Aku mencoba tetap tenang, meskipun aku tak menjamin kita bertiga apakah tetap aman dan baik-baik saja karena memang tak ada orang lain di dekat sini. Tempat ini tertutup kelas demi kelas dan orang-orang pasti hanya terfokus pada pentas seni.

Bisa jadi mereka sudah mengintai kami semenjak di kantin tadi. Salah seorang preman menodongkan pisau lipat. Meskipun mungkin hanya gertakan saja tapi aku khawatir ada setan lewat yang memasuki akal pikiran mereka sehingga membahayakan kami.

Saat itu mereka berniat agar kami memberikan uang kepada mereka secara baik-baik. Singgih beberapa kali berdalih jika kami tak ada uang. Sementara aku dan Ichwan hanya diam.

"Ngga ada mas beneran, udah buat makan"
"Kalau sampai kami geledah dan kami temukan akan kami ambil semua"

Dan dengan ancaman pisau lipat itulah kami benar-benar tidak bisa melawan. Kami memberikan semua uang yang ada di dompet. Beruntung karena sebagian uangku aku simpan di tas. Tetapi tetap saja ini adalah hal yang cukup membuatku shock.

Reuni macam apa ini? Kataku dalam hati.
Lalu kami bertiga pulang.
Setidaknya aku bersyukur tidak mendapatkan serangan fisik meskipun sedikit terkena serangan mental.
Dan kejadian itu adalah terakhir kalinya aku masuk di sekolah itu. Sekolah yang dulunya menyimpan begitu banyak kenangan yang perlahan mulai terlupakan.

Lanjut bagian 45

Make A Better Place (Autobiografi Triocahyo Utomo)Where stories live. Discover now