Daily 24 Hari Yang Mulai Berubah

64 1 0
                                    

"Aku merasa jarak bukan hanya tentang sesuatu yang jauh. Bahkan meski berada di tempat yang dekat sekalipun. Jarak itu tetap terasa."

Hari demi hari terus berlalu. Matahari tetap bersinar seperti biasanya. Terbit dari timur ke barat. Tidak semakin cepat tidak juga semakin melambat.

Tetapi aku merasa kehidupan seolah berjalan lebih cepat dari biasanya. Semakin kita menikmati hari-hari yang kita lewati. Hari-hari itu juga terasa begitu cepatnya pergi.

Seperti biasa aku masih menjalani rutinitasku. Menjalani hari-hari disekolah yang aku rasa masih sangat panjang. Meskipun kenyataannya tidaklah seperti itu.

Lagi lagi hari ini aku berangkat sekolah seorang diri. Karena memang biasanya juga seperti itu. Aku berangkat menuju ke sekolah dengan berjalan kaki dengan jarak yang bagiku saat ini tidaklah dekat juga tidaklah jauh. Tergantung bagaimana suasana hati dan bagaimana aku menikmatinya saat itu.

Ketika aku berangkat dengan santai penuh ketenangan sekolah terasa begitu dekat. Dan ketika aku kesiangan lalu terburu-buru berangkat ke sekolah. Sekolah terasa begitu jauh.

Setiap hari jika berjalan kaki aku terbiasa berangkat sekolah melalui tempat-tempat yang mungkin tak pernah kalian bayangkan.

Pertama aku melewati area pemakaman luas yang begitu sunyi. Pemakaman tersebut bukanlah tempat dimana aku menjelajah ketika di madrasahku dulu yang terletak di Utara kampung. Tetapi letak pemakaman ini berada di barat daya desaku yang berbatasan langsung dengan kampung sebelah.

Tak seperti pemakaman lainnya yang dipenuhi pohon Kamboja. Pemakaman ini dipenuhi pepohonan bambu yang begitu lebat. Bahkan dedaunannya pun sampai menutupi langit karena menyatu dengan begitu lebatnya.

Lalu aku juga melewati perkebunan jati dan juga jembatan tua panjang yang bagiku cukup mengerikan. Karena selain sudah keropos dibawahnya juga terdapat sungai curam dengan tebing yang tinggi.
Bersyukurlah bagi kalian yang bisa bersekolah tanpa kesusahan. Berangkat diantar orang tua dengan membonceng motor dengan jalanan yang bagus ataupun diantar menggunakan mobil sampai pintu gerbang sekolah. Kadang aku berandai-andai seperti itu. Tetapi itu sepertinya tidak mungkin bisa dirasakan oleh anak sepertiku.

Sesampainya di sekolah, seperti biasanya. Aku disambut dengan suasana keramaian yang berasal dari teman-teman yang berada di sekeliling ku. Semua mulai berubah.
Duniaku mulai dimasuki banyak orang. Dengan penuh canda tawa.

Tetapi tidak dengan dia. Seorang siswi perempuan yang tahun kemarin berada di kelas sebelah.
Dan kini aku dan dia berada di kelas yang sama.

Iya aku dan dia satu kelas. Berada di ruang sama. Dengan suasana ruangan, materi, dan pembahasan dari guru yang sama.
Namun aku dan dia terasa jauh. Meski di tempat yang begitu dekat sekalipun.

Ketika pulang sekolah aku dan dia sempat berpapasan. Saling melihat satu sama lain. Aku hendak menyapanya namun tidak jadi. Dia juga hanya diam kepadaku. Aku melihatnya pergi dan semakin menjauh.

Esoknya hari-hari terus saja seperti itu. Apakah karena aku terlalu diam? Aku rasa tidak karena bahkan diapun akrab dengan orang yang begitu diam di kelas. Apakah aku terlalu meresahkan? Aku rasa tidak karena gengster-gengster kelas yang sering berbuat ulahpun akrab dengan nya.

"Kamu kenapa tadi ga masuk? Seketika aku beranikan mengirim dia pesan melalui ponsel jadulku.
Beberapa menit berselang baru ada jabawan.
"Lagi ga enak badan hehe"
Lalu segera aku membalasnya.
"Semoga cepat sembuh ya."
"Makasih ya." Jawabnya singkat. Lalu tak ada pesan lagi.

Aku rasa tak pernah ada lagi yang terjadi antara aku dan dia. Kami tetap jauh. Dan aku hanya bisa memandangnya lalu berlalu.
Sambil bertanya dalam hati.

Sampai kapan akan seperti ini?
Tidak, aku rasa cukup.
Ini tak mungkin berlanjut.
Aku harus sadar diri bahwa aku ini siapa.

Dan dari situlah aku merasa jarak bukan hanya tentang sesuatu yang jauh. Bahkan meski berada di tempat yang dekat sekalipun. Jarak itu tetap terasa.

Aku hanya membiarkan waktu yang akan menyelesaikan semuanya. Karena aku yakin waktu tak pernah ada niat jahat.

Lalu hari pun mulai berubah. Aku kini mulai berteman dengan Edi. Wakil ketua OSIS yang hyperaktif. Bertemu Legia. Anak lelaki bermuka sangar namun sifatnya yang baik. Dan hidupku terasa semakin berwarna.

Aku mulai banyak menghabiskan waktu diluar rumah. Meski awalnya hal itu terasa tak cukup mengenakan. Apalagi ketika harus keluar rumah dimalam hari ke tempat yang cukup jauh. Tetapi dari situ aku banyak belajar tentang dunia luar. Semua berawal ketika ada sebuah acara pertunjukkan wayang di alun-alun.

Aku berangkat bersama beberapa teman sekolahku Yakni Tofa, Edy, Legia, Marvi dan Tavo anak kelas 8D yang juga merupakan saudara dari Legia.

Kami berjalan kaki karena kami belum memiliki SIM. Sehingga motor ditinggal di rumah Legia yang berada di daerah Kober. Sementara jika harus bersepeda malam-malam aku rasa itu bukan hal yang efektif saat itu.

Namun bukan pertunjukkan yang kami dapatkan. Tetapi hujan angin yang begitu deras ketika sampai di alun-alun. Sehingga kami putuskan untuk berteduh di depan Masjid menunggu hujan yang tak kunjung reda.

Aku merasa ini bukan suasana yang baik. Kedinginan, lapar, angin, basah. Suasana malam yang mencekam, lalu jarak yang jauh. Ketika aku sadari letak rumahku lah yang terjauh diantara mereka.

Malam itu aku tak mendapatkan tontonan apapun selain menunggu rintikan air dari langit itu reda.
Jika aku memutuskan untuk tidak bergabung dan berdiam di rumah. Mungkin aku mendapat suasana yang lebih nyaman, pikirku. Tetapi bukankah itu hal yang membosankan?

Lalu hujan mulai reda ketika waktu mulai larut malam. Kami bergegas pulang dengan melangkahkan kaki lebih cepat dari biasanya. Aku tahu orang tuaku pasti akan memarahiku habis-habisan semakin lama aku tak segera pulang ke rumah.

Tetapi ini bukan perjalanan yang dekat. Suasana ramai perkotaan dan malam Minggu yang tak biasa bagiku. Dalam perjalanan aku beberapa kali bertemu dengan gerombolan pemuda yang sedang nongkrong, dan beberapa diantara mereka juga sedang mabuk-mabukan. Lalu ada juga pasangan muda mudi yang sedang berkencan. Hingga para pedagang yang masih menyambung hari dengan mencari uang.

Banyak pelajaran tentang kehidupan yang aku dapat. Jadi seperti inilah kehidupan dunia luar. Jika kita tidak bisa mengambil yang baik maka kapan saja kita bisa terjerumus didalamnya.

Ketika memasuki sebuah daerah yang tak aku ingat namanya. Ada 2 orang perempuan yang sepertinya umurnya sedikit diatasku mendekati kami. Mereka dalam keadaan basah karena kehujanan.

Dalam larut malam seperti ini? Perempuan di luar rumah? Apakah mereka tak berteduh?

Tetapi sepertinya Legia mengenali mereka yang ternyata tinggal tak jauh dari rumahnya. Mereka ingin berkenalan denganku dan Marvi yang berasal dari desa lain.

Akupun mulai memepenalkan diri.
Aku Rio.

Aku sengaja berbohong tentang namaku, karena mungkin itulah yang terbaik.

Lalu semua itu berakhir.
Sekitar pukul 23.00 W.IB aku sampai di rumah. Ibuku sangat marah.
Aku segera menuju kamar, menutup pintu dan mematikan lampu.
Mengakhiri cerita di hari itu.

Namun semua belum selesai begitu saja.

Lanjut ke bagian 25
 

Make A Better Place (Autobiografi Triocahyo Utomo)Where stories live. Discover now