Daily 25 Menyelesaikan Tantangan

42 1 0
                                    

"Aku percaya berlari bukan hanya tentang betis yang kokoh, tetapi juga hati yang kukuh. Kukuh pada pendirian jika kita mampu melakukan sesuatu. Maka yakinlah pasti kita akan meraihnya.
Dan satu lagi, Pelari tak pernah menunggu garis finish menempel di dadanya."

Dalam setiap saatnya mata pelajaran Penjaskes selalu terasa menyenangkan bagiku. Selain tidak harus menghafal ataupun mendengarkan materi yang menjenuhkan. Kita bisa melakukan aktivitas ataupun mengeluarkan kemampuan dari diri kita yang biasa kita latih. Selain juga dalam konteks nya kita bisa langsung berinteraksi dengan teman yang lain. Melihat lingkungan sekitar. Menikmati udara pagi juga sinar matahari.

Tetapi sebenarnya yang selalu aku tunggu adalah ketika Guru Olahraga membubarkan barisan dan memperbolehkan untuk bermain Sepakbola. Bukan ambil matras untuk senam lantai, mencangkul pasir untuk lompat jauh. Karena itu adalah hal yang kadang mendebarkan bagiku.

Aku terkadang merasa minder ketika lompatan ku yang kalah jauh dari teman-temanku. Ataupun kesulitan melakukan gerakan pada saat senam lantai. Tetapi setidaknya itu lebih baik daripada hanya dihabiskan untuk baris berbaris.

Tapi aku percaya dibalik semua kekurangan pasti ada kelebihan. Tuhan telah menciptakan manusia dengan sesempurna-sempurnanya tinggal bagaimana kita bisa mensyukurinya dan juga menjaganya.

Namun sepertinya hari ini bukan tentang senam lantai ataupun sepakbola. Pak Sis seperti lebih menekankan pemanasan kaki pada kami. Ini aku sadari dari latihan yang coach berikan saat di SSB.
Pemanasan dalam olahraga adalah hal yang sangat penting. Selain untuk mencegah cedera juga akan mendorong tubuh kita melakukan aktivitas secara maksimal.

Hari itu kota Purwokerto bersinar seolah lebih terik dari biasanya. Setelah pemanasan selesai Pak Sis guru olahragaku Kembali menginstruksikan untuk berkumpul.

Aku mendengarkan dengan seksama setiap apa yang beliau sampaikan.

"Pelajaran penjaskes hari ini adalah maraton. Bagi siapa yang bisa sampai waktu kurang dari 10 menit maka Bapak tidak mewajibkan untuk mengikuti penilaian renang. Lalu akan bapak ikutkan dalam seleksi Popda."

Kurang lebih itu yang dapat aku cerna.

Renang..
Tidak mewajibkan renang.

Seketika kata itu yang teringat ketika aku sadari aku memang selalu kesulitan dalam hal biaya pembayaran untuk berangkat mengikuti kegiatan renang yang memang diadakan tiap bulan sekali.

Dan juga tentang kejadian mengerikan tahun lalu. Meskipun aku sebenarnya cukup menyukainya namun bagaimana lagi. Jika memang ayahku sedang tak memiliki uang. Aku tidak ikut.

Kelasku sendiri menjadi kelas terakhir karena pelajaran penjaskes diadakan dihari Sabtu jam kedua. Dan dari ke 7 kelas sebelumnya. Tak ada satu siswa pun yang mampu menyelesaikan lari dengan durasi 10 menit.

Jarak yang ditempuh juga cukup jauh, ditambah sengatan matahari yang membuat energi makin cepat terkuras.

Tapi memang tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Pelari tak pernah menunggu garis finish menempel di dadanya. Garis finish juga tak pernah menghampirinya. Ia yang harus bersegera mungkin menghampiri garis finish.

Ketika waktu dimulai aku segera melesat ke bagian paling depan. Dengan langkah cepat aku terus berlari dan tak pernah berhenti, aku meninggalkan semua teman-teman ku dibelakang.

Yang aku pikirkan saat itu hanyalah berlari. Dan terus berlari. Aku tak peduli apapun yang terjadi saat itu. Intinya aku takan pernah berhenti hingga sampai garis finish.

Aku merasa tubuhku lebih ringan dari biasanya. Karena setiap sebelum mata pelajaran olahraga ketika malamnya aku menyegerakan untuk tidur lebih awal.

Tapi bagaimana lagi. Semua itu tetap saja ada batasnya.
Dadaku mulai sesak nafasku mulai habis. Tetapi jika aku berhenti sesaat, pasti otot ku akan bermasalah. Pasti akan lelah jika untuk berlari lagi.

Seketika bayangan dirinya terbayang dalam pikiranku.
Dia yang begitu dingin. Dia yang selalu terasa jauh. Dia yang mungkin sedang keletihan di belakang sana.

Mungkin dengan menjadi yang tercepat semua akan berbeda meski aku sadari sama sekali tak pernah ada bedanya.

Aku tak peduli keletihan. Aku berlari tanpa mengurangi kecepatan meski ini adalah maraton bukan sprint.
Semua keletihan itu mulai berkurang ketika Pak Sis sudah terlihat disana dengan memegang stop watch.

Itulah garis finish.

Pandanganku sedikit kabur. Dengan sisa-sisa tenagaku aku sprint sekuat tenaga.

Dan akhirnya..

9 menit 30 detik.

Aku berhasil?

Aku sepeti tak percaya. Lalu aku beristirahat di samping pak Sis sambil menanti temanku yang akan sampai selanjutnya.

9 menit 57 detik. 58 detik 59 detik
10 menit.

Belum ada lagi.

11 menit.
11 menit 10 detik
11 menit 20 detik.
Aku terus pandangi stop watch yang Pak Sis pegang.
11 menit 30 detik akhirnya orang kedua memasuki garis finish. Dia adalah Miftah yang juga pemain bola di kelasku.

Dan memang ternyata tak ada lagi. Dari ratusan siswa di kelas 8 tak ada lagi yang berhasil melewati tantangan ini.

Aku percaya berlari bukan hanya tentang betis yang kokoh, tetapi juga hati yang kukuh. Kukuh pada pendirian jika kita mampu melakukan sesuatu. Maka yakinlah pasti kita akan meraihnya.
Dan satu lagi, Pelari tak pernah menunggu garis finish menempel di dadanya.

Yakinlah, dan percayalah.
Meski sebenarnya bukan ini yang aku mau.

Aku berhasil menyelesaikan tantangan itu. Dan memang menjadi satu-satunya. Meski pada akhirnya aku gagal mewakili sekolah karena pada seleksi tahap akhir catatan waktuku kalah oleh seseorang adik kelas anak kelas 7B yang merupakan atlet maraton sekolah.

Hari itu pun berakhir. Menjelang pulang sekolah aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku merasa begitu letih sehingga aku putuskan untuk beristirahat di kantin disaat murid lain mulai tak terlihat lagi di Sekolah. Sepertinya jiwa ini menanggung beban begitu berat hingga seperti tak lagi sanggup menopang tubuhku. Pandanganku agak samar. Aku merasa begitu lemas dan ingin istirahat.
Hingga semuanya berlalu.

Lanjut ke bagian 26

Make A Better Place (Autobiografi Triocahyo Utomo)Where stories live. Discover now