[47] Broken Rain

39.7K 3.3K 157
                                    

Mengapa ia membuat janji yang tak bisa ia tepati?

Keesokan malamnya, Ara tengah berada di suatu Café dengan desain yang sangat masa kini. Suara musik pun sangat terdengar oleh telinganya. Ia mengaduk-aduk segelas moccachino yang ia pesan seraya mengetukkan tangannya di meja karena bosan.

Ara sudah menunggu satu setengah jam di Café ini. Namun Chiko tak juga datang, padahal sebelumnya lelaki itu yang membuat janji untuk bertemu di Café malam ini. Niatnya, mereka ingin membahas lebih lanjut konsep yang diusulkan oleh Chiko untuk music video Frappucino yang harusnya rilis dalam waktu dekat ini.

Tak lama kemudian, suara gemuruh menggelegar dan rintik hujan perlahan turun membasahi ibu kota pada malam hari ini. Lama kelamaan, rintik-rintik itu menjadi semakin deras. Dan semakin lama, hujan itu kembali mengingatkannya pada memori di kala itu.

Disaat ia tertawa di bawah hujan bersama Ravin di rooftop rumah sakit. Rasanya, hujan saat ini sangat berbeda dengan hujan di kala itu.

Dimana Ravin sekarang? Apakah mungkin Ravin sudah bahagia dengan pilihan yang ia pilih? Apakah ia sudah resmi berpacaran dengan Shanon? Apakah ia masih memikirkan Ara saat ini? Apakah ucapan Papanya benar jika Ravin sangat menyayanginya? Apakah keputusannya untuk berpisah dengan Ravin itu salah?

Pertanyaan-pertanyaan itu bergemuruh di kepala Ara seperti gemuruh yang tampak menggelegar di langit malam Jakarta ini.

Sudah jam setengah sembilan malam, namun Chiko tak kunjung datang. Kemana sebenarnya lelaki itu? Ara mengambil ponsel dari saku celananya lalu mulai mengetik sebuah pesan untuk Chiko.

Davira: Chik, lo dimana?

Tak ada balasan. Ara menghela napas berat lalu kembali meminum moccachino yang sudah tidak panas lagi. Rasanya biasa saja, tidak seenak moccachino yang pernah ia minum di Piano Café bersama Ravin tempo lalu.
Mungkin benar, jika siapa yang membuat secangkir kopi itu bisa menentukan rasa di dalam cangkir itu. Katanya juga, perasaan yang membuatnya juga dapat memengaruhi karena itu mencerminkan bagaimana ia memasukan rasa ke dalam secangkir kopi itu.

10 menit kemudian, sebuah notifikasi masuk dan terlihat dari ponselnya. Benar, itu balasan dari Chiko.

Chiko: Ra, hari ini nggak jadi ya?

Chiko: Gue harus nganterin nyokap.

Chiko: Lo balik aja bisa nggak?

Ara mendengus kesal.

Menyebalkan, kalau memang Chiko tak bisa datang mengapa Lelaki itu harus membuat janji pada Ara?

Setelah hujan mereda, Ara mengegas vespa biru kesayangannya menuju base camp milik Frappucino yang tak begitu jauh dari Café yang tengah ia singgahi.

Mungkin disana tak ada orang, namun rasanya tempat itu cukup nyaman untuk melepas semua kekesalannya pada Chiko yang begitu menyebalkan.

Ara menghentikan motornya di koridor parkir lalu bergegas masuk ke dalam ruangan itu.

Sesampainya disana, Ara justru menemukan Boni dan Chiko yang tengah bermain play station. Ara menatap Chiko malas. Sadar jika Ara berada di tempat ini, Chiko menghentikan aktivitasnya.

“Ra? Lo—” ujar Chiko terpotong.

Ara menatap Chiko tajam. “Katanya lo mau nganterin nyokap lo?”

“Iya, tapi—”

“Kalo misalnya emang lo lagi nggak mau ketemu gue, ngapain lo harus bikin janji sama gue?”

“Terserah deh itu music video mau lo urus apa enggak.”

“Sekalian aja nggak usah ada!”

Chiko yang posisi semulanya duduk kini beranjak berdiri dan menatap Ara tajam. “Kok lo ngomongnya kayak gitu sih, Ra?”

“Ya lo pikir aja deh sendiri!” sentak Ara.

“Lo kenapa sih, Ra? Aneh banget tau nggak sih lo?”

“Lagian juga gue udah kasih ide gimana konsepnya. Gue juga udah nyuruh Kibo buat nentuin tempatnya.”

“Terus apa masalahnya?”

“Karena lo sendirian di Café?”

“Masa balik sendiri aja nggak bisa?”

Sebenarnya bukan itu yang Ara permasalahkan. Mengapa Chiko harus berbohong padanya jika ia ingin mengantar ibunya padahal tidak?

Mengapa ia membuat janji yang tak bisa ia tepati?

“Kok lo malah marah-marah sama gue sih?” tanya Ara malas.

“Ya gimana gue nggak marah kalo lo-nya aja kayak gitu. Lo nggak pernah bisa ngertiin gue tau nggak sih, Ra?”

Ara mengerutkan dahinya. “Ngertiin apaan sih?”

“Terserah lo lah!”

“Gue capek!”

Ara beranjak pergi dari ruangan itu lalu menaiki vespa birunya dan segera mengegasnya di bawah rintik hujan yang masih membasahi Jakarta.

Mengapa disaat-saat seperti ini ia justru kembali teringat Ravin?

Mengapa ia teringat Ravin yang bahkan tak pernah meninggalkannya disaat-saat terpuruknya?

Namun di satu sisi, ia masih berpikir apakah Ravin benar-benar mencintainya atau ucapan Shanon jika Ara hanya mainan untuk Ravin adalah benar.

Ara menghela napas berat.

Dimanapun lo, semoga lo bahagia ya, Vin.

TBC

Author Note:
Kalian kesel nggak sih kalo punya cowok kayak Chiko? Terus kesel nggak kalo nemuin cewek kayak Ara? Thanks for reading

Alya Ranti

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang