[26] Unpredictable Things

43.9K 3.5K 445
                                    

[Kalau bisa, bacanya sambil dengerin multimedia ya]

Sosok itu menoleh kearah Ravin dan menatapnya dengan tatapan bingung. “Maaf, Kak. Nama saya bukan Ara.”

“Ada apa ya, Kak?” tanya gadis itu. Ravin menghela napas sejenak, ternyata gadis itu bukan Ara. Gadis yang selalu ia idolakan selama satu tahun dan selama satu tahun ini sebenarnya Ravin tak pernah sejenak pun berhenti mencintai gadis itu.

Ravin tersenyum lirih kearah gadis yang sepertinya adalah adik kelas Ravin di SMA Melodi. “Nggak ada apa-apa kok.”

“Maaf salah orang.”

Sesaat kemudian, sosok itu mengangguk kemudian pergi.

Ravin memejamkan matanya sejenak lalu bergegas menuju koridor parkir. Ia menaiki vespa putih kesayangannya dengan tak bersemangat. Tak lama kemudian, ia mengegas vespanya dan meninggalkan koridor sekolahnya.

Dimana Ara sekarang? Apakah gadis itu baik-baik saja? Atau benar jika gadis itu memang mengalami kecelakaan? Ravin menyesal, harusnya ia tak usah membohongi dirinya sendiri dengan mengikuti rencana Aron untuk menjauhi Ara.

Ia merasa benar-benar bodoh, untuk apa ia menjauhi orang yang bahkan sedetik saja tak bisa menjauh dari pikirannya? Bagaimana jika Ara benar-benar pergi?

Mungkin langit senja yang kini tengah menatapnya akan menertawakan kebodohannya.

Ravin jadi ingat, dahulu dibawah langit senja dan diatas motor vespa putih ini ia tertawa berdua bersama Ara. Ia tak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya hari itu ketika ia bisa melihat Ara tertawa lepas tanpa beban. Iya, saat Ara tengah menunggu metromini lalu Ravin menghampirinya dan akhirnya Ara pulang bersama Ravin.

Namun, akankah kenangan itu akan terulang lagi? Atau hanya akan menjadi memori yang nantinya mengundang air mata?

Akhirnya mereka tertawa bersama dibawah langit oranye yang indah. Ravin tersenyum senang. “Ra, kalo misalnya di dunia ini ada yang bisa Ara ubah. Apa yang mau Ara lakuin?”

“Apa sih, random banget lo jadi manusia!” jawab Ara seraya tertawa.

“Ih, Babang Ravin serius.”

Ara tampak berpikir. “Gue mau jadi Captain America biar abang gue ngefans sama gue.”

“Kalo sesuatu yang nggak pengen Ara ubah?”

Ara mengerutkan dahinya dan kembali terlihat berpikir. “Nggak tau, kenapa emangnya?”

“Kalo ada satu yang bisa gue ubah, gue bakal minta sama tuhan biar lo jatuh cinta sama gue,” ujar Ravin. Entah mengapa ucapan Ravin dapat menghasilkan suatu desiran hangat yang tak dapat Ara jelaskan.

“Kalo yang nggak mau gue ubah ya perasaan gue buat lo.”

Ara terbingung. “Dih, biar apa coba?”

“Biar kita sama-sama jatuh cinta.”

“Gue sayang lo, Davira Amanda.”

Ravin yang bodoh, jika memang ia menyayangi Ara. Harusnya ia menepati janjinya untuk tak akan meninggalkan Ara. Bukannya menjalankan drama bodoh yang akhirnya berujung seperti ini.

Ra, dimanapun lo. Gue harap lo baik-baik aja ya? Gue janji sama diri gue sendiri, gue nggak akan pernah pergi lagi kalo lo baik-baik aja. Gue sayang lo, Ra, batin Ravin. Ia menghela napas berat yang beriringan dengan rasa sesak, cemas, dan khawatir yang bercampur menjadi satu didalam perasaan Ravin.

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang