[15] For You

51.6K 3.8K 300
                                    

Mungkin banyak yang lebih baik dari lo, tapi gue nggak tau kenapa gue selalu jatuh cinta sama lo.

“Ara! Ravin!” suara teriakan itu membuat mereka menoleh ke arah sumber suara itu. Ternyata itu adalah Bu Rika. Salah satu guru yang dianggap menyeramkan di SMA Melodi.

Bu Rika berjalan menghampiri Ara dan Ravin yang masih berdiri di depan ruang OSIS.

Ara memutar kedua bola matanya malas. Masalah apa lagi ini?

Sedangkan Ravin justru menunjukkan deretan giginya. “Pagi Bu Rik.”

Bu Rika membulatkan matanya kearah Ravin seraya meletakkan kedua tangannya di pinggang. “Burik burik! Kebiasaan! Kamu pikir saya burikan? Nama saya Rika!”

“Lagi juga, ngapain kalian masih bertengkar disini? Kalian nggak denger kalau bel masuk sudah berbunyi 30 menit yang lalu?”

“Kuping kalian bermasalah? Atau malah kuping kalian yang burikan sampai nggak bisa denger?” tanya Bu Rika.

Ravin menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Aduh, Bu. Anu—kita nggak nganu jadinya belum nganu, Bu.”

“Nganu nganu! Kamu tuh ngomong apa sih?”

Ara menghela napas berat. “Jadi, Bu. Tadi kita ada urusan makanya—”

Bu Rika menggelengkan kepalanya seraya menutup kedua telinganya. “Pokoknya saya nggak mau tau apa alesan kalian. Terlambat ya tetep terlambat! Sekarang kalian bersihkan seluruh koridor sekolah!”

“Sekarang, Bu?” tanya Ravin.

Bu Rika membulatkan matanya. “Tahun depan!”

Ravin justru tertawa. “Boleh, Bu? Berarti saya bisa nungguin nyamuk saya bertelor dulu dong, Bu?”

“Ya, sekarang! Cepet atau saya tambah hukuman kalian?”

Akhirnya, pagi itu menjadi pagi yang sangat menyebalkan bagi Ara karena ia harus membersihkan seluruh koridor sekolah bersama Ravin—makhluk paling aneh yang pernah ia temui.

Hampir seluruh koridor sudah mereka bersihkan, kini mereka tengah membersihkan koridor yang ada di dekat mading sekolah. Bulir-bulir keringat pun mulai bercucuran dari wajah Ara.

“Ara capek ya?”

“Kalo Ara capek Ara balik ke kelas aja, biar sisanya Babang Ravin yang bersihin,” ujar Ravin seraya menatap wajah Ara yang memerah.

Ara menatap Ravin malas lalu kembali mengepel lantai. “Nggak usah.”

“Tapi Ara pasti capek.”

Ara menghela napas berat lalu kembali menatap Ravin dengan tatapan yang jauh lebih tajam dari sebelumnya. “Ya ini semua gara-gara lo tau nggak?”

“Kita nggak bakalan di hukum kalo lo tadi nggak kebanyakan ngomongin hal nggak penting sama Pak Dhirga.”

“Gue juga nggak bakalan ngisi pentas seni nggak jelas itu bareng lo!” lanjut Ara dengan setengah membentak.

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang