[13] Sweet Question

54.3K 3.9K 476
                                    

“Yang perhatian aja belom tentu suka. Yang peduli aja belom tentu sayang. Gimana lo yang cuma disenyumin?”

Keesokan harinya, Ara harus menjalani kesehariannya seperti anak kelas dua SMA pada umumnya.

Ara berjalan di depan koridor sekolah dengan headphone yang ia kenakan sehingga ia tak memerhatikan lingkungan sekitarnya. “Ara!”

“Ra, awas!” teriak seseorang dari jauh lalu segera berlari cepat dan berdiri menghadang Ara. Siapa lagi sosok itu jika bukan Ravin? Lelaki paling aneh dan menyebalkan yang pernah Ara temui.

Ara mengerutkan dahinya. Mau apa lagi lelaki itu? Ara melepas headphone-nya lalu mengalihkan pandangannya kearah Ravin.

Pluk.

Bersamaan dengan sosok itu berdiri di depan Ara, sebuah kaleng minuman terlempar tepat mengenai dahi Ravin.

“Aduh!” Ravin mengusap dahinya sendiri yang tampak memerah karena lemparan kaleng tersebut.

Ravin mengamati Ara secara cermat, ia mengamati wajah Ara seakan tengah meneliti sesuatu. “Ra, Ara nggak papa ‘kan?”

“Ara baik-baik aja, ‘kan?”

“Apaan sih lo, lebay deh!”

Ara tetap Ara dengan sikap juteknya yang menggemaskan. Tetapi mengapa kemarin Ara tersenyum hangat pada Ravin? Lalu kini Ara bersikap seperti biasanya lagi.

Sebenarnya, apa yang Ara rasakan untuk Ravin?

“Bukan lebay, Ra. Ini menyangkut keselamatan Ara. Kalo kepala Ara kenapa-napa gimana?”

“Mau gue kena kaleng itu juga gue nggak bakal gila kayak lo!”

Ravin membulatkan matanya kearah sosok yang melemparkan minuman kaleng tersebut. Jika dilihat dari penampilannya, lelaki itu pasti adik kelas. Ia menatap Ravin dengan tatapan takut. “Maaf, Kak.”

“Saya nggak sengaja ngelempar kaleng itu.”

Ravin masih membulatkan matanya seraya mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. “Nggak sengaja, nggak sengaja!”

“Mata lo kotok apa ileran sih?”

“Coba aja kalo kaleng itu kena bidadari tak bersayap gue. Lo mau tanggung jawab?” sentak Ravin.

Ia masih menatap Ravin dengan tatapan takut. “Saya beneran nggak sengaja, Kak.”

“Yaudah, kali ini lo gue maafin. Tapi kalo sekali lagi lo hampir nyakitin Ara lagi. Lo cari gara-gara sama gue!”

“Iya maaf, Kak.” Ia mengangguk takut lalu segera pergi meninggalkan koridor itu.

Ravin melipat kedua tangannya di dada seraya menaikkan satu alisnya dengan bangga. “Untung aja kaleng itu nggak kena Ara.”

“Pasti itu karena Babang Ravin yang keren ada disini.”

“Iya nggak, Ra?” tanya Ravin lalu menoleh ke belakang. Tetapi ternyata tak ada Ara di belakangnya, mata Ravin mencari sosok itu. Ternyata kini Ara sudah berjalan di depan kelasnya.

“Ara, jangan kebiasaan ninggalin Babang Ravin dong. Ntar Ara kangen loh!” teriak Ravin lalu bergegas berlari mengejar Ara. Namun tiba-tiba seseorang tertawa menatap Ravin.

“Heh kucrut, masih aja sih lo ngejar-ngejar Ara?”

“Padahal Ara aja nggak pernah nanggepin lo, ‘kan?” tanya Aron seraya tertawa menatap tingkah konyol sohibnya itu.

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang