[8] Her Feelings

65.6K 4.6K 460
                                    

“Lo mungkin nggak sadar kalo senyuman lo itu bisa nebar kebahagiaan buat orang yang ada disekitar lo.”

Ara menghela napas berat, ia menatap langit senja yang sering dibilang indah oleh banyak orang di
atap gedung berukuran delapan kali sembilan belas meter yang ada di seberang SMA Melodi.

Ara tak biasanya seperti ini, Ara bukanlah tipe orang yang melankolis. Tapi ternyata orang-orang itu ada benarnya juga, jika senja itu menenangkan. Senja siap untuk mendengarkan keluh kesah ribuan manusia untuk sekadar meluruhkan beban yang ada di dalam diri mereka.
Dan yang jelas, senja tidak seperti manusia yang hanya bisa menghakimi tanpa mendengarkan. Senja tidak seperti manusia yang selalu ingin dimengerti namun tidak pernah mau mencoba untuk mengerti.

Mungkin memang terlalu melankolis, namun memang menyakitkan ketika  kau harus terus mengerti tanpa dimengerti.

Menyakitkan ketika kau terus disalahkan tanpa diberi kesempatan untuk bicara.

Memang menyakitkan ketika kau tak diberikan ruang untuk didengarkan.

Dan memang menyakitkan, ketika kau ditinggalkan begitu saja padahal selama ini kau sudah mati-matian mempertahankan.

Ara tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, pikirannya begitu kalut sehingga Ara mengambil sebatang rokok dari dua belas rokok yang tersusun rapi di dalam bungkusnya.

Namun tiba-tiba saja, seseorang mengambil semua rokok itu dari tangan Ara. Ia menatap Ara cemas. “Ara, menurut ilmu kedokteran. Rokok itu nggak baik buat kesehatan!”

“Apalagi buat cewek.”

“Kalo misalnya bibir Ara korengan gimana?”

“Terus kalo misalnya paru-paru Ara jadi borokan gara-gara rokok gimana?”

“Ara nggak mikirin gimana perasaan Babang Ravin kalo misalnya Ara kenapa-napa?” tanya Ravin. Ara menatap sosok itu dengan matanya yang sembab, mengapa sih sosok itu selalu datang kapanpun dan dimanapun tanpa diundang?

“Babang Ravin tau Ara lagi banyak masalah.”

“Tapi nyelesain masalah bukan dengan cara ngancurin diri lo sendiri, Ra.”

“Mau apa sih lo?”

“Emangnya lo tau apa tentang gue?” tanya Ara dengan nada bicara yang meninggi.

“Kalo lo kesini cuma buat ganggu gue, mendingan lo pergi!”

“Lo tuh ganggu tau nggak?”

Ravin menggelengkan kepalanya lalu duduk disamping Ara. “Tapi gue nggak mau ninggalin lo sendirian.”

Ara mendengus kesal seraya menatap langit senja yang sebentar lagi akan hilang. “Pergi.”

“Nggak usah ikut campur urusan gue.”

Ravin menatap mata Ara yang sepertinya tengah menahan air matanya yang akan mengalir. “Kan Babang Ravin udah bilang, sekarang lo itu pacar gue. Gue bakalan terus ada buat lo kapanpun dan dimanapun.”

Emosi Ara semakin memuncak. “Tapi ‘kan gue udah bilang, lo bukan pacar gue!”

“Gue kasih tau ya sama lo.”

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang