[25] Hurt Issue

41.2K 3.4K 386
                                    

Sudah 2 minggu berlalu, rasanya semesta seakan semakin tak berpihak pada Ara dan Ravin. Mereka berdua tampak semakin jauh, sejauh Sirius dengan Brown Draft yang sesungguhnya. Setiap kali mereka bertemu, mereka hanya terus berjalan menuju tujuan mereka masing-masing tanpa saling sapa. Mereka berjalan seakan tak pernah mengenal satu sama lain.

Jam olahraga adalah jam pelajaran terakhir untuk kelas Ravin. Seluruh murid kelasnya sudah pergi meninggalkan lapangan ketika bel pulang sekolah berbunyi beberapa menit yang lalu. Namun kini Ravin masih men-dribble bola basket secara asal lalu memasukkannya ke dalam ring basket.

Emtah mengapa, situasi ini membawa ingatan Ravin pada gadis yang beberapa minggu yang lalu tengah bersedih lalu duduk di kursi yang ada di sudut lapangan itu. Iya, gadis dengan tatapan tajam, wajah jutek, serta sikap ketus yang beberapa minggu lalu selalu tak bisa hilang dari pikiran Ravin. Lalu Ravin seketika datang membawakan dua buah es krim pada gadis itu.

Sore itu, mereka tertawa bahagia karena tingkah konyol Ravin yang selalu berhasil menyairkan suasana. Sore itu rasanya sangat hangat, tidak hampa seperti saat ini.

“Lo suka es krim?” tanya Ara penasaran.

Ravin tampak berpikir dengan terus memakan es krimnya. “Suka, tapi lebih suka lo.”

Rasanya Ravin seperti pengecut, yang mengatakan kata suka berkali-kali lalu tak lama kemudian pergi meninggalkan begitu saja. Rasanya Ravin mengingkari janji yang bahkan ia buat sendiri.

“Kak Ravin!” Suara itu menyadarkan Ravin dari lamunannya lalu menoleh ke arah sumber suara itu. Seorang gadis yang berusia satu tahun dibawahnya melambaikan tangan kearah Ravin dengan menunjukkan senyum sumringahnya. Siapa lagi gadis itu jika bukan Shanon?

“Kak, aku bawa sesuatu loh buat kakak!” teriak Shanon dari jauh.

Ravin menghela napas sejenak lalu menghampiri Shanon. “Aku bawa roti sama susu coklat kesukaan Kak Ravin, Kakak mau? Kak Ravin pasti capek abis main basket.”

“Kita makan disana yuk!” ajak Shanon seraya menunjuk kursi yang ada di dekat lapangan itu. Betul, kursi yang sama yang selalu berhasil membawa ingatan Ravin kepada hari itu lagi.

Ravin menggelengkan kepalanya. “Gue makan di kelas aja deh, Sye.”

“Nggak papa, ‘kan?” tanya Ravin sehingga eskpresi wajah gadis itu berubah. Namun tak lama ia mengangguk dan tersenyum.

“Iya nggak papa, tapi dimakan ya?”

Ravin mengangguk. “Makasih, by the way.

“Tapi kita pulang bareng ‘kan, Kak?”

Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, Ravin berjalan menuju kelasnya untuk segera pulang. Berlama-lama di tempat ini sesungguhnya malah membuatnya semakin tak karuan.

“Ih, Kak Ravin!”

Sesampainya ia di depan kelasnya, seseorang bertolak pinggang seraya tertawa menatap Ravin.

“Enak ya, ada yang merhatiin terus,” ledek Aron.

Ravin berdecak kesal. “Topeng monyet juga banyak kali yang merhatiin.”

“Maksud gue, enak ‘kan ada yang merhatiin? Jadi nggak perlu repot-repot malakin orang di kantin,” ujar Aron memperjelas.

Ravin tertawa pelan lalu masuk ke dalam kelasnya. Aron pun mengikuti langkah sohib dekatnya itu. “Kenapa sih lo?”

Ravin menatap Aron sejenak. “Lo yakin, Ron, rencana kita bakal berhasil?”

“Gue jadi ngerasa kayak orang goblok tau nggak sih?”

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang