[39] About Rapunzel

Mulai dari awal
                                    

Mata Yuki beralih kearah Ara. Ara melambaikan tangannya kearah gadis kecil itu.

“Kak Ara?” Yuki tersenyum senang dan menatap takjub Ara yang kini tengah menggunakan dress yang membuat gadis itu semakin terlihat cantik.

“Halo, Yuki apa kabar?” Ara membalas senyuman milik gadis kecil itu.

Namun beberapa saat kemudian, ekspresi wajah Yuki berubah menjadi muram. “Kak Ara, boleh nggak kalo Yuki bilang Yuki iri sama Kak Ara?”

“Kak Ara cantik banget. Kak Ara punya suara yang bagus. Kak Ara juga punya rambut yang bagus kayak Rapunzel, nggak kayak Yuki,” tutur Yuki.

Mendengar itu, Ravin menurunkan Yuki di sofa yang terletak di ruangan itu. Ia duduk berlutut lalu mencolek gemas hidung gadis itu.

“Hei, Yuki kok ngomongnya gitu?”

“Kak Ravin kasih tau ya.”

“Kalo Yuki bilang Kak Ara itu cantik, Kak Ravin setuju. Kak Ara emang cantik banget. Kayak bidadari yang turun dari kayangan.”

“Tapi Yuki juga nggak kalah cantik kok,” kata Ravin seraya mengelus lembut pipi gadis kecil itu.

“Yuki tau? Semua orang punya kecantikannya masing-masing yang bahkan nggak bisa diliat pake mata.”

“Oh ya? Tapi kalo rambut Yuki kayak Rapunzel kan lucu, Kak!” sahut Yuki.

Ravin tertawa.

“Oke, Rapunzel emang punya rambut yang bagus. Dia juga punya istana yang megah. Tapi dia nggak bahagia karena harus terkurung dan nggak bisa liat dunia luar.”

“Sedangkan Yuki. Yuki punya temen-temen yang selalu ada buat Yuki, yang selalu berhasil bikin Yuki ketawa. Yuki punya Kak Ravin, Yuki juga punya Kak Ara.”

“Jadi, apa Yuki masih mau jadi Rapunzel?”

Yuki menggeleng lalu tersenyum. “Nggak.”

Mendengar perkataan Ravin, entah mengapa Ara benar-benar melihat sisi yang lain yang dimiliki oleh Ravin. Sisi yang bahkan tak dapat diduga oleh orang lain.

“Kak Ara emang cantik, tapi dia punya guru ekonomi yang galak, punya guru matematika yang nyeremin. Kalo Kak Ara nggak bisa, Kak Ara suka diomel-omelin.”

Yuki menoleh kearah Ara. “Beneran Kak Ara?”

Ara mengangguk seraya tersenyum. “Iya.”

“Yuki masih mau jadi Kak Ara?” tanya Ravin lagi. Yuki kembali menggeleng.

“Nggak mau! Yuki nggak mau dimarahin! Yuki takut tau, Kak.” Yuki menutup kedua wajahnya lalu kembali menatap Ravin.

Tingkahnya sangat menggemaskan sehingga membuat Ara dan Ravin tertawa.

“Makanya, apapun keadaannya Yuki harus tetep jadi diri Yuki sendiri.”

“Oke?”

Yuki mengangguk cepat. “Oke!”

“Tos dulu dong!” ajak Ravin seraya memajukan tangannya. Yuki menepuk tangan Ravin seraya tertawa. Setelah itu, Yuki menepuk tangan Ara lalu kembali tertawa.

“Yuki sayang sama Kak Ravin!” ujar Yuki.

“Kak Ravin juga sayang banget sama Yuki.”

Yuki menatap Ara. “Yuki juga sayang Kak Ara!”

Ara terkekeh kecil lalu mengelus gemas pipi Yuki.

“Kak Ara juga sayang sama Yuki.”

“Kak Ara,” panggil Yuki.

“Iya?” tanya Ara seraya menatap gadis kecil itu.

“Kak Ara sayang sama Kak Ravin nggak?” tanya Yuki.

Pertanyaan Yuki membuat Ara dan Ravin saling bertatapan untuk beberapa detik. Entah mengapa seketika semuanya terdiam.

“Ih, Kak Ara kok diem aja sih?”

“Kalo sama Kak Ravin, Kak Ara sayang nggak?” Yuki mengulang pertanyaannya.

Ara tertawa hangat lalu sekilas menatap Ravin.

“Sayang kok.”

Entah mengapa perkataan Ara mampu menghadirkan desiran yang tak dapat dijelaskan didalam perasaan Ravin, padahal kini Ara sudah menjadi kekasihnya. Tetapi tetap saja, kata-kata itu langka untuk keluar dari mulut Ara.

Setelah bermain dengan Yuki, Ravin mengajak Ara untuk makan pecel lele di tempat kesukaannya. Ravin memesan dua porsi pecel lele dan dua gelas es teh manis yang kini sudah ada di hadapan mereka.

Ara duduk menatap Ravin yang ada disebelahnya.

Lucu sekali, lelaki gila seperti Ravin terkadang bisa mengeluarkan kata-kata emas dari mulutnya.

Ravin menatap Ara bingung. Aneh sekali, tak biasanya Ara menatapnya seperti itu. Ravin melambaikan tangannya di depan wajah Ara.

“Ra, Ara kenapa?” tanya Ravin. Tetapi gadis itu tak menggubris Ravin.

“Halo!”

“Dengan siapa dimana?”

Password-nya?” tanya Ravin. Namun gadis itu masih saja terdiam dalam posisinya.

“Ara!”

“Ciluk Bakekok!” Ravin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu kembali membukanya.
Sadar dengan apa yang dilakukan Ravin. Ara tertawa. “Apaan sih lo, emang lo pikir gue bayi?”

“Lagian Ara ngeliatin Babang Ravin sampe kayak gitu banget. Kasian tau lelenya di diemin, nanti nangis loh.”

Ara mengangguk lalu meminum es teh yang ada dihadapannya. Sedangkan Ravin mulai memakan pecel lele miliknya.

“Lo sejak kapan, Vin suka ke rumah singgah?” tanya Ara.

Ravin menoleh. “Sejak Babang Ravin sadar kalo ternyata ada orang yang lebih nggak beruntung dari Babang.”

Ara mengangguk. “Mereka lucu-lucu ya?”

“Iya, walaupun lucuan Babang Ravin sih,” jawab Ravin sehingga membuat Ara memukul lengannya.

Entah apa alasannya Ravin menghibur anak-anak di rumah singgah itu, namun pemikiran Ravin benar-benar istimewa.

Bahkan ia bisa membuat orang lain tak lagi bersedih dan kembali tertawa karena tingkahnya. Padahal, kenyataannya dirinya belum tentu baik-baik saja.

Sampai sekarang saja, Ravin tak tahu siapa dan dimana ibunya yang sebenarnya. Dan ia juga tak mengerti mengapa Papanya harus menyembunyikan semuanya.

Namun Ravin masih bisa tersenyum dan menenangkan orang lain.

Ternyata benar ya, menguatkan orang lain itu jauh lebih mudah dibanding menguatkan diri sendiri.

TBC

Author Note:
Iya ya, kira-kira siapa dan dimana Mamanya Ravin? Terus kenapa Papanya harus nyembunyiin semuanya? Oh iya, kalo misalnya di dunia nyata ada cowok kayak Ravin, apa yang bakal kalian lakuin? Thanks for reading ❤

Alya Ranti

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang