[16] Another Feelings

Start from the beginning
                                    

Tak lupa ia memancarkan senyuman hangatnya kepada mereka. Iya, Rumah Singgah Harapan ini adalah tempat tinggal untuk anak-anak yang memiliki penyakit terutama penyakit kanker.

Ravin memang sering berkunjung ke tempat ini, karena menurutnya kebaikan sekecil apapun bisa memengaruhi hidup seseorang. Ia berharap kehadirannya bisa membangkitkan semangat mereka untuk terus berjuang melawan penyakitnya.

“Gimana Kak lanjutan ceritanya tentang temen kakak yang kakak bilang cantik banget?”

Ravin terkekeh kecil lalu menatap Ara yang tengah berdiri di ambang pintu.

“Itu orangnya, beneran cantik ‘kan?” tanya Ravin.

Mereka mengangguk dan mengikuti arah tangan Ravin yang menunjuk kearah Ara. “Iya, Kak. Cantik banget!”

“Kayak barbie ya,” sahut mereka seraya tertawa bahagia.

“Iya, kayak Princess di negeri dongeng.”

“Kak Ravin, kita boleh kenalan nggak sama kakak cantiknya?” tanya Putri.

“Tanya dong sama kakak cantiknya.”

Putri menghampiri Ara seraya melambaikan tangannya. “Sini masuk, Kak.”

Ara tersenyum ketika Putri menarik tangannya kedalam dengan senyuman bahagianya.

“Ternyata bener ya kata Kak Ravin kalo kakak cantik kayak bidadari, walaupun katanya nggak punya sayap.” Putri menatap punggung Ara yang ternyata memang tak bersayap.

“Kita boleh nggak kenalan sama kakak?”

Ara menatap Ravin sejenak lalu tertawa hangat. “Boleh dong.”

“Nama aku Davira, tapi kalian bisa panggil aku Ara.”

“Kak Ravin sama Kak Ara kenapa nggak pacaran aja? Padahal, Kak Ara kan cantik kayak Princess. Kak Ravin juga ganteng kayak pangeran?” tanya Yuki. Gadis berusia 8 tahun yang mengidap penyakit kanker otak stadium akhir.

Ravin tertawa seraya mencolek hidung Yuki. “Kamu masih kecil, nggak boleh ngomongin pacar-pacaran.”

Yuki tertawa. “Tapi Kak Ravin mau ‘kan kalo pacaran sama Kak Ara?”

“Kak Ara juga mau ‘kan pacaran sama Kak Ravin?” ledek Yuki seraya tertawa.

“Bilang sama Kak Ravin, bayar dulu tuh utang-utangnya,” sahut Ara seraya tertawa.

“Oh ya? Kak Ravin suka ngutang?”

Ara mengangguk. “Iya, kalian tau nggak? Kak Ravin pernah sampe di kejar-kejar sama tukang bakso gara-gara nggak bayar-bayar hutang.”

“Kak Ravin lucu. Terus terus, gimana lagi, Kak?”

Ara melanjutkan ceritanya seraya tersenyum. Entah mengapa bertemu mereka dan berbagi cerita dengan mereka seketika menghapuskan rasa sedih yang ia rasakan.

Karena Ara sadar, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung dibandingkan mereka. Masih banyak yang harusnya Ara syukuri.

Ara masih diberikan kesehatan dan Ara masih memiliki kedua orang tua serta abangnya yang begitu menyayanginya.

“Terus Kak Ravin tetep nggak mau bayar.”

“Terus gimana lagi, Kak?”

“Terus Kak Ravin dipukul deh pake kentongan bakso.”

“Terus kepalanya Kak Ravin benjol,” lanjut Ara seraya tertawa puas. Yang lain pun ikut tertawa lepas karena cerita Ara.

Ravin tersenyum tipis seraya menatap Ara. Entah mengapa suasana saat ini terasa sangat hangat. Ia juga merasa sangat bahagia menatap Ara tertawa lepas seperti sekarang.

Tapi tunggu, mengapa Ara tau kejadian saat Ravin dikejar-kejar oleh Mang Dodo dan berakhir dipukul dengan kentongan bakso? Apakah itu tandanya Ara memerhatikan Ravin diam-diam? Ravin jadi malu sendiri.

“Oh iya, Kak. Kata Kak Ravin kakak jago nyanyi ya? Kakak mau nggak nyanyi bareng-bareng sama kita sama Kak Ravin?”

“Kak Ravin juga mau ‘kan main piano buat kita?”

“Boleh ya, Kak?” pinta mereka seraya menatap Ravin dengan penuh harap. Ravin tertawa hangat seraya tersenyum.

“Boleh dong. Apa sih yang nggak buat kalian?”

“Kak Ravin gombal. Kak Ara jangan mau ya kalo digombalin sama Kak Ravin!”

“Kabur!” ledek Yuki lalu berlari pelan menuju piano yang terletak di tengah ruangan. Yang lain juga ikut berlari pelan menghampiri piano itu.

Piano itu adalah pemberian Ravin yang sengaja ia letakkan disini.

Ara tertawa seraya menggelengkan kepalanya lalu menatap Ravin. “Mereka lucu banget.”

Ravin mengangguk seraya tersenyum hangat. “Iya.”

“Makasih ya, Ra,” ujar Ravin seraya menatap Ara dengan tatapan teduhnya.

Ara mengerutkan dahinya. “Makasih?”

“Iya.” Ravin mengangguk tanpa menghilangkan senyum di bibirnya.

“Makasih udah ketawa lagi.” Ravin menatap Ara dengan begitu lekat. Matanya membola kearah Ara seraya tak ingin melepaskan Ara dari pandangannya.

“Makasih juga udah bikin mereka bahagia karena ketemu lo.”

Kali ini, Ravin benar-benar menatap Ara dengan intens. “Dan—”

“Makasih udah bikin gue jatuh cinta.”

Ara menatap Ravin, tak lama ia membalas senyuman Ravin dengan hangat lalu berjalan menghampiri Yuki dan yang lainnya. Ara tak mengerti apa yang ia rasakan. Yang jelas, ia merasakan perasaan lain yang tak ia rasakan ketika ia bersama Ravin sebelumnya. Perasaan yang bahkan tak bisa ia jelaskan.

Namun, perasaan apa itu?

TBC

Author Note:
Di part ini, kalian kesel sama Chiko? Ikut sedih karena Ara galau atau gemes sama Ara dan Babang Ravin? Terus, mungkin nggak ya kalo Ara udah luluh sama Babang Ravin? Thanks for reading

Alya Ranti

Have a Nice Dream [Completed]Where stories live. Discover now