[16] Another Feelings

Start from the beginning
                                    

Ara mengusap kedua matanya, mengapa tiba-tiba sosok cowok aneh itu hadir?

Ra, galau sih galau. Tapi ya jangan sampe ngebayangin cowok stress itu juga kali, lama-lama lo yang gila! batin Ara lalu kembali membuka matanya. Namun sosok itu seakan benar-benar ada dihadapannya.

“Ara kok bengong aja sih?”

“Bakekok!” ujar Ravin seraya mengulang hal yang sama.

Namun Ara masih memperjelas pandangannya.

“Ara!”

“Nang ning nung ning nang ning nung!”

Tatapan sendu Ara berubah menjadi tatapan tajam. “Kenapa lo bisa disini?”

“Mau maling lo ya?” tuduh Ara seraya hendak memukul Ravin dengan gitarnya. Namun Ravin menggeleng kuat.

“Nggak, Ra. Orang gue udah diizinin sama nyokap bokap lo buat masuk kesini kok!” jawab Ravin sehingga Ara meletakkan gitar itu disampingnya.

“Ngapain sih lo disini? Mendingan lo pulang. Gue mau sendiri.”

Ravin menatap Ara seraya tersenyum teduh. “Emang salah kalo gue kangen sama orang yang gue sayang?”

Ara berdecak kesal. “Mendingan lo pergi!”

“Lagi juga, Tante Alea sama Om Revo bilang katanya Ara sedih terus.”

“Pergi nggak?” sentak Ara lagi.

“Iya, tapi perginya sama gue ya? Gue mau ngajak lo ke suatu tempat. Lo pasti suka!”

Ara berdecak kesal. “Pergi sekarang atau gue timpuk pake gitar?”

Seseorang datang menghampiri mereka. “Keluar sama Ravin atau uang jajan kamu Papa potong sebulan?”

Ara menghela napas berat. “Kok Papa malah belain dia sih? Sebenernya anak Papa siapa sih?”

“Keluar sama Ravin atau uang jajan kamu papa potong sebulan?” tegas Revo dengan tatapan tajamnya yang mampu mengintimidasi lawan bicaranya.

Ara menghela napas berat. “Iya iya.”

Mau tak mau malam ini ia harus menghadapi manusia semacam Ravin lagi, karena tak mungkin ia melawan Papanya.

Kini Ara sudah berada di dalam mobil Ravin. Ravin pun sudah mengegas mobilnya entah ingin kemana. Ara hanya terdiam tanpa berbicara satu patah kata pun. Kini yang terdengar di mobil Ravin hanyalah musik yang diputar oleh pemilik mobil itu.

20 menit kemudian, mobil Ravin berhenti di tempat yang belum pernah Ara kunjungi sebelumnya. Ravin menatap Ara sejenak. “Ra, nggak papa ‘kan kalo kita kesini?”

Ara mengangguk seraya melihat papan nama tempat ini. Disana tertulis jika tempat ini bernama Rumah Singgah Harapan.

Ravin turun dari mobilnya lalu mengambil kantung plastik besar yang ada di bagasi mobilnya. Yang bahkan Ara tak tahu apa isi dari kantung plastik itu.

“Ayo, Ra,” ajak Ravin seraya tersenyum. Ia berjalan dengan penuh semangat lalu memasuki rumah singgah itu. Ara hanya mengikuti Ravin dari belakang.

“Kak Ravin!” teriak anak-anak didalam sana seraya memeluk Ravin dengan begitu bergembira. Ravin menyamakan tingginya dengan anak-anak itu lalu membalas pelukan mereka dengan tulus.

“Kak Ravin kemana aja?”

“Kita kangen banget sama Kak Ravin.”

“Iya katanya kita mau nyanyi bareng, Kak?”

Have a Nice Dream [Completed]Where stories live. Discover now