Tak lama, motor Ravin berhenti di sebuah café bernuansa serba kayu seperti pada tahun 80-an. Mereka memasuki café itu dan duduk di bangku yang ada di pojok kiri, itu spot kesukaan Ravin setiap kali ia datang ke tempat ini.

Kebetulan sekali, baru saja mereka sampai di tempat ini. Tiba-tiba, rintik hujan perlahan turun membasahi jalanan ibu kota. Ara menatap rintik hujan yang perlahan turun seraya menghela napas berat.

Terkadang hujan memang seperti itu, datang tanpa bisa diprediksi.

Dan kadang, hujan juga datang tanpa di minta.

Seperti halnya jatuh cinta, datang tiba-tiba tanpa kau minta dan tanpa memberi tahu pada siapa kau akan jatuh cinta.

Tetapi ketika patah hati datang, jatuh cinta yang disalahkan.

Padahal, tak ada yang meminta kau untuk jatuh cinta.

Salah sendiri, mengapa kau masih saja mencintai orang yang sudah jelas-jelas tidak mencintaimu sama sekali?

Mengapa masih saja bertahan untuk orang yang menyakitimu?

Mengapa masih mau berkorban padahal kau tahu kau sudah disia-siakan?

Terkadang, jatuh cinta juga sanggup membuat semua manusia menjadi bodoh.

Setelah itu, Ara mengalihkan pandangannya dan mengamati suasana yang tercipta dari café ini. Tempat ini tidak besar tapi bisa dibilang cukup unik karena ditengah-tengah café ini terdapat piano yang cukup besar dan ada seorang kakek berusia 60 tahunan yang tengah memainkan lagu klasik.

Di kanan dan kiri ruangan juga terdapat rak buku yang terdapat banyak sekali buku di dalamnya.

Aneh juga, manusia gila seperti Ravin mengetahui tempat sebagus ini.

“Lo suka kesini?” tanya Ara. Dengan cepat Ravin mengangguk seraya tersenyum.

“Unik, ada yang mainin piano.”

“Walaupun lagunya klasik banget,” ujar Ara.

Ravin tersenyum senang. Seorang Davira Amanda bertanya dan berbicara sepanjang itu kepadanya? Mimpi apa Ravin semalam?

“Iya, Ra.”

“Ara tau nggak kalo ada makna yang bisa kita ambil dari piano?”

Ara mengerutkan dahinya seraya menatap Ravin untuk menunggu jawaban.

“Piano itu ngajarin kita tentang arti ketulusan.”

“Karena pasti ada rasa yang terselip disetiap nada yang tercipta, Ra.”

Ravin tersenyum hangat. “Piano juga ngajarin kita tentang hidup juga loh, Ra.”

“Kalo kadang kita mikir, kenapa harus ada tuts hitam di piano padahal kita juga bisa main piano cuma pake tuts putih?”

“Kita emang bisa milih main piano cuma pake tuts putih aja. Tapi pasti rasanya jadi hambar, Ra.”

“Sama kayak hidup, semua orang pasti bakalan milih hidupnya buat bahagia aja. Nggak ada orang yang mau ngerasain yang namanya sedih.”

“Tapi, tanpa rasa sedih hidup kita juga jadi hambar.”

“Gue tau kalo lagi sedih pasti rasanya nggak enak banget. Tapi rasa sedih itu bisa jadi sesuatu yang berharga juga buat kita loh, Ra.”

Ara mengangguk seraya tersenyum singkat. “Oh.”

Ara tetap Ara yang jutek. Namun Ravin senang, setidaknya hari ini ia memiliki banyak waktu bersama Ara. Sang Bidadari tak bersayapnya.

Seorang waitress seketika membawa daftar menu pada Ara dan Ravin. “Pasti Bang Ravin mau mesen susu hangat ya?”

Ravin menunjukkan deretan giginya. “Perhatian banget sih, Mbak. Jadi sayang.”

“Eh tapi jangan ah, nanti pacar saya cemburu, Mbak.”

“Kenalin, ini pacar saya namanya Ara. Cantik banget ‘kan, Mbak?” tanya Ravin.

Mata Ara menatap Ravin dengan tatapan tajam andalannya, tak lama Ravin terkekeh kecil. “Calon pacar maksudnya, Mbak.”

“Oh, saya doain deh biar cepet-cepet jadian. Kalian cocok kok.”

“AAMIIN!”

“AAMIIN!” teriak Ravin lalu seraya berdiri sehingga seluruh pengunjung café menatap kearah Ravin.

Walaupun tidak terlalu banyak, tetap saja tindakan Ravin itu sangat memalukan.

“Nggak jelas tau nggak sih lo?” ketus Ara.

Waitress café itu tertawa. “Nggak jelas gitu juga Bang Ravin gemesin loh.”

“Eh iya, Ara mau pesen apa?”

Mocca latte aja.”

Waitress itu mencatat pesanan mereka lalu berjalan meninggalkan Ara dan Ravin berdua seraya tersenyum-senyum gemas.

Setelah itu mereka saling diam. Ara hanya menatap Ravin dengan tatapan tajamnya. Setelah 10 menit, pesanan mereka datang. Ara meminum mocca latte kesukaannya lalu menatap café ini lebih lanjut. Jika dilihat-lihat, pengunjung disini memang tak begitu ramai. Padahal konsep café ini sudah sangat bagus.

“Desain café-nya juga klasik abis ya?”

“Kayaknya harus ada yang di-renov sedikit biar pengunjungnya tambah rame,” ujar Ara lalu kembali meminum mocca latte-nya.

Ravin malah tertawa. “Malah itu yang jadi daya tarik dari tempat ini, Ra.”

Ara mengerutkan dahinya. “Kenapa?”

“Nggak semua orang suka keramaian, Ra.”

“Pemilik café ini bilang, yang dateng kesini pasti yang bener-bener suka sama café ini.”

“Dia bilang, ini bukan tentang rame atau nggak. Tapi siapa yang bakalan bener-bener bertahan dan nggak akan pergi ninggalin gitu aja karena alasan bosan.” ucapan Ravin membuat Ara seketika tersedak sehingga menyembur kearah muka Ravin.

Mengapa ucapan Ravin seperti dirinya dengan Chiko?

Apakah itu tandanya Chiko tak benar-benar menyukainya?

Lalu untuk apa waktu itu Chiko meminta Ara untuk menjadi pacarnya? Apakah Chiko memiliki maksud lain?

TBC

Author Note:
Kasian ya Ravin disembur Ara. Eh iya, bener nggak ya kalo Chiko nggak bener-bener suka sama Ara? Terus kalo bener, kenapa Chiko mau pacaran sama Ara? Thanks for reading ❤

Alya Ranti

Have a Nice Dream [Completed]Where stories live. Discover now