[11] Comfort

Mulai dari awal
                                    

“Ara tunggu disini ya. Babang Ravin mau jemput Sehun dulu!” ujar Ravin lalu berlari cepat menghampiri motornya yang terletak di ujung koridor parkiran.

Tak lama, Ravin menghampiri Ara yang masih berdiri di tempatnya. Ternyata, Ravin juga suka dengan vespa seperti Ara. Namun vespa milik Ravin berwarna putih.

“Kenalin, Ra. Ini Sehun, motor kesayangan gue!”

“Ganteng ‘kan kayak gue?”

“Tapi Ara jangan cemburu sama Sehun, ya. Soalnya Babang Ravin tetep lebih sayang sama Ara kok.”

“Ayo naik!”

Ara memutar kedua bola matanya dengan malas. “Ogah.”

“Ara, Babang Ravin nggak mau kalo Ara tambah sedih karena omongan orang-orang disini.”

“Babang Ravin tau, lari dari masalah itu nggak baik. Tapi kadang kita juga butuh menghindar dan menyendiri buat nenangin diri kita.”

Benar juga kata Ravin, sekuat apapun seseorang. Pasti akan ada titik dimana ia sudah lelah dengan semua ucapan orang yang menerpa dirinya.

“Emangnya mau kemana?” tanya Ara ketus seraya menatap Ravin dengan tatapan tajam yang tak pernah lepas dari dirinya.

Ravin menunjukkan deretan giginya. “Nyari penghulu buat nikahan kita nanti, Ra!”

Ara berdecak kesal. “Gue serius!”

“Jawab yang bener atau gue balik ke kelas sekarang?” sentak Ara.

Ravin terkekeh kecil. “Babang Ravin bercanda kok, Ra.”

“Ada deh, Ara pasti suka.”

“Ayo!” ajak Ravin lagi.

Mata Ara membulat kearah Ravin. “Lo nggak mau nyulik gue, ‘kan?”

Ravin tertawa renyah. “Ra, tanpa gue culik juga lo udah selalu punya tempat di dalem hati gue.”

“Gue sayang sama lo, Ra.”

“Makanya gue nggak mau liat lo sedih,” ujar Ravin seraya menatap Ara dengan tatapan teduhnya. Mungkin jika yang di depannya bukan seorang Davira Amanda, gadis itu sudah meleleh dan luluh oleh ucapan Ravin.

Ravin tersenyum hangat seraya menepuk jok belakangnya. “Ayo, Ra!”

“Ini helm-nya!”

“Biar Ara aman kalau jatuh.”

“Kalo bisa sih, jatohnya ke hati Babang Ravin.”

Ara menghela napas pasrah, akhirnya ia mengambil helm itu lalu menaiki motor Ravin. Bukan karena ia ingin berlama-lama dengan lelaki itu, tapi karena ia sudah terlalu muak dengan semua omongan yang orang-orang lontarkan kepadanya.

Di sepanjang jalan, Ara dan Ravin hanya saling diam. Namun sesekali Ravin menatap wajah Ara dari kaca spionnya seraya tersenyum.

Kalau Ara sedang tidak memasang wajah juteknya, sebenarnya wajah Ara sangat teduh untuk dipandang. Apalagi untuk seorang Ravin.

Have a Nice Dream [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang